@thesis{thesis, author={TUPEN Adolfus F. Kopong}, title ={Menelisik Populisme Di Indonesia Dalam Terang Konsep Hannah Arendt Tentang Massa Mengambang}, year={2020}, url={http://103.56.207.239/11/}, abstract={Penulisan skripsi ini bertujuan untuk: pertama, mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan fenomena “massa mengambang” menurut Hannah Arendt. Kedua, mendeskripsikan dan menjelaskan hubungan fenomena massa mengambang Hannah Arendt dalam kaitan dengan kebangkitan populisme di Indonesia. Ketiga, mengaplikasikan konsep Hannah Arendt tentang fakultas berpikir sebagai upaya mengatasi fenomena massa mengambang dalam tubuh populisme. Keempat, memenuhi tuntutan akademis pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Objek kajian dalam penulisan skripsi ini adalah kebangkitan populisme di Indonesia dalam terang konsep Hannah Arendt tentang massa mengambang. Metode yang digunakan adalah metode analisis kualitatif. Penulis mendalami dan mempelajari pemikiran Hannah Arendt dan fenomena poopulisme di Indonesia dari pelbagai buku, jurnal-jurnal ilmiah dan pelbagai sumber pustaka lainnya. Beberapa di antara buku referensi buku penulisan ini adalah karya Arendt sendiri. Selain karya Arendt, penulis juga memperkaya pemahaman tentang Arendt dari beberapa buku dan artikel yang berbicara tentang massa mengambang menurut Arendt dan populisme di Indonesia. Berdasarkan hasil kajian penulis disimpulkan bahwa kebangkitan populisme di Indonesia belum menjadi sebuah kekuatan progresif yang dapat membawa perubahan untuk kepentingan bersama rakyat Indonesia. Pembajakan demokrasi beserta dengan atribut-atributnya oleh para oligark telah menumpulkan kekuatan populisme itu sendiri. Dalam mencari dukungan dan simpatisan dalam sebuah kontestasi pemilihan, para oligark cenderung menggunakan populisme sebagai sebuah strategi politik. Kerapkali, para oligark pun tidak segan-segan menggunakan politik identitas untuk meloloskan kepentingan partikularnya. Dengan taktik ini, para oligark atau pun para aktor populis tidak saja membangun pertentangan antara rakyat dan elit yang sedang berkuasa, tetapi sebaliknya, para oligark pun sedang membangun pertentangan antarrakyat itu sendiri. Permainan politik identitas inilah yang pernah digunakan Hitler untuk membawanya kepada tampuk kekuasaan. Sebagaimana Eichmann dan para penjahat Nazi lainnya dalam kacamata Arendt dilihat sebagai pribadi-pribadi yang mengambang, penulis pun demikian melihat rakyat dalam gerakan populisme di Indonesia adalah kumpulan massa mengambang. Penulis melihat bahwa rakyat di dalam gerakan populisme di Indonesia bukanlah subjek politik yang sesungguhnya melainkan sebatas alat di tangan para oligark untuk meloloskan kepentingan-kepentingan partikularnya. Sebagaimana Eichmann dan para penjahat Nazi lainnya, rakyat dalam populisme di Indonesia tidak bertindak berdasarkan hasil pertimbangan dalam pemikirannya melainkan menjalankan sebuah tugas atas nama kepatuhan buta. Ketidakmampuan berpikir rakyat Indonesia dalam gerakan populisme di Indonesia dalam membedakan perintah yang baik dan buruk dari para oligark atau perintah dari sebuah ideologi inilah disebut sebagai banalitas kejahatan sebagaimana dikemukakan Hannah Arendt. Kondisi inilah menyusutkan ruang publik sebagai sebuah ruang bersama di mana orang-orang dapat bertindak dan berbicara dalam kesalingan untuk kebaikan hidup bersama. Rakyat yang terhimpun dalam gerakan populisme di Indonesia adalah korban sekaligus pelaku kejahatan karena ketidakmampuan untuk berpikir kritis. Dalam kondisi ini, mereka – sebagaimana Eichamann dan penjahat Nazi lainnya – mudah digerakan atau dimobilisir untuk melakukan sebuah kejahatan yang banal. Dengan demikian, penulis mengambil kesimpulan bahwa kebangkitan populisme di dalam ruang publik Indonesia bukan merupakan gambaran akan ketimpangan sosial yang sedang terjadi melainkan gambaran dari pertarungan antara para oligark itu sendiri untuk merebut kekuasaan.} }