@thesis{thesis, author={NURHALIS NIM. 01370755-99}, title ={LEMBAGA NEGARA DALAM PERSPEKTIF FIQH SIYASAH STUDI TERHADAP TUGAS DAN WEWENANG MPR DAN DPR DALAM UUD 1945 PASCA AMANDEMEN}, year={2004}, url={https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/31086/}, abstract={MPR dan DPR adalah lembaga negara yang memegang kedaulatan rakyat yang tugas dan wewenangnya antara lain mengubah dan menetapkan UUD, memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden serta membentuk undang undang dan pengawasan. Sedangkan lembaga negara yang memegang kedaulatan umat dalam fiqh siyasah adalah ahl al-hall wa al- 'aqd, yang memiliki tugas dan wewenang antara lain memilih khalifah atau kepala negara, mem-bai'ah, memberhentikan, menetapkan Undang-Undang Dasar, membuat undang-undang dan pengawasan. Asumsi dasar yang mendorong penelitian yang berjudul LEMBAGA NEGARA DALAM PERSPEKTIF FIQH SIYASAH STUDI TERHADAP TUGAS DAN WEWENANG MPR DAN DPR DALAM UUD 1945 PASCA AMANDEMEN, adalah secara sepintas tugas dan wewenang MPR dan DPR menurut sistem UUD 1945 Pasca Amandemen di negara Indonesia sangat mirip dengan tugas dan wewenang ahl al-hall wa al- 'aqd dalam konsep fiqh siyasah di dalam negara Islam. Sehingga problem akademis yang muncul kepermukaan, bagaimana pandangan fiqh siyasah terhadap tugas dan wewenang MPR dan DPR dalam UUD 1945 Pasca Amandemen ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti berusaha untuk mengumpulkan pendapat-pendapat para ulama fiqh siyasah yang menyoroti masalah ini, seperti Al-Mawardi, Rasid Ridha, Muhammad Abduh, Abul A'la AlMaududi, Fazlur Rahman dan lain-lain. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti, bahwa tugas dan wewenang MPR dan DPR dalam UUD 1945 Pasca Amandemen dengan tugas dan wewenang ahl al-hall wa al- 'aqd dalam fiqh siyasah memang sangat mirip tetapi tidak identik maupun sama persis. Contohnya, di dalam mengubah dan menetapkan UUD MPR harus memperhatikan betul-betul aspirasi rakyat dan tidak boleh melanggar hal itu, begitu pula dengan DPR, dalam membentuk undang-undang yang berada di bawah UUD mereka hams memperhatikan aspirasi rakyat. Berbeda dengan ahl al-hall wa al-aqd, dalam menetapkan UUD mereka hams berlandaskan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dan mereka tidak boleh menyimpang dari keduanya, apabila Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak mengatur, bahkan tidak memberikan pedoman dasar sekali pun, ahl al-hall wa al- 'aqd bebas ber-ijtihad untuk menentukan UUD melalui musyawarah, dan di dalam musyawarah ini mereka harus memperhatikan aspirasi dari umat (rakyat). Begitu juga di dalam membuat undang-undang yang berada di bawah UUD harus berlandaskan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dan mereka tidak boleh menyimpang dari keduanya dan jiwa syari'ah ( maqosid al-asyari'ah ).} }