@thesis{thesis, author={HARMEN HADI NIM. 99373606}, title ={IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM PADA ERA OTONOMI DAERA H DI KABUPA TEN 50 KOTA (STUDI ATAS PERAN PARLEMEN NAGARI ATAU BPAN)}, year={2004}, url={https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/31094/}, abstract={sehingga ketika berguhr refonnasi amatlah wajar kalau daerah ini kembali mencari sosok jati dirinya yang telah hilang akibat intervensi dan budaya penyeragaman. Akibat Undang-undang no 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa menjadikan masyarakat mengalami split personality kultural yang sangat akut, karena pemerintahan nagari sangat mencolok perbedaannya dengan pemerintahan desa yang dipaksakan. Pemerintahan nagari adalah pemerintahan yang tumbuh dari arus bawah, demokrasi, terbuka dan egaliter, sedangkan pemerintahan desa adalah pemerintahan yang dibangun berdasarkan feodalis, patemalis dan bahkan nepotisme hingga posisi legitimasi masyarakat hanyalah kepura-puraan semata. Sistem pemerintahan yang seperti ini mengakibatkan lag (ketimpangan) yang berkepanjangan di Minangkabau dan tentunya tennasuk daerah Kabupaten Lima Puluh Kota tempat dimana penelitian ini penyusun lakukan. Terjadilah dramatisasi distorsi budaya, melemahnya peran-peran nonnatif sehingga tidak lagi berfungsi sebagai gawang representatif dalam menggolkan setiap kebijaksanaan hukuni atau peraturan yang mestinya ada disetiap nagari-nagari, karena pemahaman didaerah ini tentang kebijakan yang representatif itu adalah sebuah kebijakan yang lahir dari kesepakatan tiga komponen "tungku tigo sajarangan" (ulama, umara', dan cerdik pandai), bukan kebijakan one way communication (kebijakan yang datang dari satu arah) Lahimya Undang-undang No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang No. 25/1999, berfungsi sebagai payung hukum dan pedoman sistem pemerintahan yang akan dibangun kembali didaerah ini. Undang-undang ini sekaligus memberikan jalan menguatnya setiap potensi-potensi kultural yang ada di nagari, salah satu potensi itu adalah Par1emen Nagari. Berdasarkan world view (pandangan hidup) masyrakat Minangkabau "adat basandi syara'dan syara' basandi kitabullah" falsafah ini memiliki dimensi kultural dan religius, yang scka1igus dijadikan pedoman dasar dalam kinerja parlemen ini.} }