@thesis{thesis, author={ANIFA NUR FAIDAH NIM. 15350022}, title ={PANDANGAN PENGHULU KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) MERGANGSAN TENTANG PEMALSUAN IDENTITAS DALAM PERNIKAHAN (STUDI KASUS PERNIKAHAN BUDI PRABOWO DAN AGUSTINA DWI ASTUTI)}, year={2019}, url={http://digilib.uin-suka.ac.id/34596/}, abstract={Dari kasus yang diteliti ini yaitu telah terjadi pemalsuan identitas dalam sebuah pernikahan poligami yang terjadi di KUA Mergangsan. Kasus tersebut dilakukan oleh Budi Prabowo yang merupakan salah satu anggota polisi dan diberikan wewenang mempunyai dua identitas untuk keperluan tugas, namun wewenang tersebut disalahgunakan olehnya untuk menikahi seorang wanita yang bernama Dwi Astuti. Budi Prabowo yang berstatus sebagai suami, dengan menggunakan identitas palsunya menikahi Dwi Astuti. Sehingga pernikahan tersebut tanpa adanya persetujuan dari istri sebelumnya, dan tentunya telah menimbulkan hukum maupun akibat hukum yang berbeda dengan pernikahan yang tanpa memalsukan identitas. Kasus demikian merupakan kasus pertama kali yang terjadi di KUA Mergangsan, sehingga penulis ingin mengetahui bagaimana pendapat dari Penghulu mengenai kasus pemalsuan identitas dalam pernikahan tentang hukum dan akibat hukumnya. Hal tersebutlah yang menjadi latar belakang penulisan skripsi ini. Untuk mengetahui kasus pemalsuan identitas dalam pernikahan tersebut, maka ada dua titik fokus yang menjadi pokok pembahasan yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana pendapat penghulu mengenai hukum dan akibat hukum kasus pemasluan identitas dalam pernikahan, dan mengetahui rujukan hukum atau alasan hukum Penghulu dalam berpendapat. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Yaitu menguasai hukum bagi persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan dan menerapkan peraturan-peraturan hukum. Menurut pandangan Penghulu KUA Mergangsan hukum atau status perkawinan dengan pemalsuan identitas yaitu sah, karena pada pelaksaannya terpenuhi syarat dan rukun dalam pernikahan. Namun setelah diketahui bahwa ternyata ada cacat syarat, maka perkawinan harus dibatalkan. Akibat hukum yang berlaku juga sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Kemudian pandangan dari penghulu yang kedua bahwa perkawinan dengan memalsukan identitas jika dilihat dari sudut pandang agama hukumya yaitu sah, karena terpenuhi syarat dan rukun perkawinan. Namun jika dilihat dari sudut pandang Undang-Undang Perkawinan maka perkawinan tersebut tidak sah karena ada syarat yang tidak terpenuhi, sehingga harus dilakukan pembatalan. Terdapat alasan hukun normatif dan alasan hukum yuridis yang masing-masing terkait dengan sah atau tidaknya pernikahan, pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya.} }