@thesis{thesis, author={Zainudin Muhammad Fiki}, title ={FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK DILAKSANAKAN SUATU KONTRAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERDATA DI INDONESIA}, year={2022}, url={http://elibs.unigres.ac.id/971/}, abstract={Wanprestasi merupakan suatu keadaan di mana pihak debitur tidak mampu memenuhi dan/atau lalai untuk melakukan kewajiban prestasinya yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat bersama pihak kreditur. Wanprestasi dapat terjadi dikarenakan adanya 2 (dua) kemungkinan yaitu: 1) Keadaan memaksa (overmacht/force majeure); dan 2) Karena kesalahan pihak debitur, baik karena suatu kesengajaan maupun lalai. "Secara istilah Force Majeur dalam suatu perjanjian sering disebut dengan istilah Overmacht, act of god, keadaan memaksa, keadaan darurat, keadaan kahar, keadaan diluar kemampuan manusia". Dalam penulisan penelitian ini, penulis mengangkat dua permasalahan. Permasalahan pertama adalah bagaimana bentuk klausula keadaan darurat (force mejeure) dalam sebuah perjanjian. Dan permasalahan kedua adalah bagaimana pengaturan keadaan darurat (force majeure) menurut hukum perdata di Indonesia. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif, untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum. Hasil dari penelitian ini memmberikan prespektif hukum perdata di Indonesia. Di dalam KUHPerdata tidak terdapat patokan yuridis secara umum yang dapat digunakan dalam mengartikan pengertian force majeur, sehingga untuk menafsirkan istilah force majeur dalam KUHPerdata dapat diartikan bahwa pengaturan mengenai force majeur yang terdapat dalam bagian pengaturan tentang ganti rugi, atau pengaturan resiko akibat force majeure untuk kontrak sepihak ataupun dalam bagian kontrak-kontrak khusus (kontrak bernama) diambil dari kesimpulan-kesimpulan, teori-teori hukum tentang force majeur, doktrin dan yurisprudensi. Pengaturan mengenai keadaan memaksa atau force majeur yaitu Pasal 1553, Pasal 1444, Pasal 1445, dan Pasal 1460 KUHPerdata. Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa pembatalan kontrak dalam keadaan force majeure pada Pasal 1245 KUHPerdata tertuang bahwasannya penganntian biaya kerugian dan bunga dapat dimaafkan ketika terjadi suatu keadaan memaksa. tetapi, para pihak yang telah mengadakan kontrak/perjanjian harus bisa membuktikan adanya halangan yang betul-betul tidak bisa melakukan prestasinya. Dan saran yang dapat diberikan bahwa kondisi force majeur tidak serta merta dapat dijadikan pembatalan suatu kontrak, namun renegosiasi dapat dilakukan untuk membatlkan atau mengubah isi kontrak yang telah disepakati tentunya diharapkan berjalan dengan adanya itikad baik. karena suatu kontrak harus tetap dilaksanakan sesuai dengan isinya sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata.} }