@thesis{thesis, author={SAPUTRA M. ANDRIAN}, title ={ANALISIS PEMIDANAAN PRAKTIK PROSTITUSI MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA}, year={2024}, url={http://eprints.uniska-bjm.ac.id/23290/}, abstract={Prostitusi melalui media sosial merupakan kegiatan prostitusi atau suatu kegiatan yang menjadikan seseorang sebagai objek untuk di perdagangkan melalui media elektronik atau online. Prostitusi online dilakukan dengan media karna lebih mudah, murah, praktis dan lebih aman dari razia petugas dari pada prostitusi yang di lakukandengan cara konvensional. Prostitusi melalui media sosial sebagai kejahatan cyber crime merupakan kejahatan jual beli perdagangan manusia dalam kegiatan kasus tawar-menawar yang bersendikan pada pelayanan penikmat jasa yang pelancarannya bersendikat pada dunia maya atau jejaring internet sebagai media penyambung dalam meluruskan aksi kejahatan tersebut. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang mengatur tentang Prostitusi diatur dalam Pasal 27 Ayat (1). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sudah banyak menjerat kasus prostitusi, namun di Indonesia sendiri angka prostitusi dari tahun ke tahun menunjukan suatu peningkatan. Dari data putusan MA terkait putusan kasus prostitusi dengan klasifikasi ITE pada tahun 2017 terdapat 5 putusan, 2018 terdapat 6 putusan, dan 2019 terdapat 10 putusan. Dengan menaiknya angka kasus prostitusi artinya pengguna jasa prostitusipun setiap tahunnya menunjukan peningkatan, namun sangat disayangkan tidak ada sanksi untuk menjerat penggunanya. Dari situlah sanksi pidana bagi para pelaku prostitusi belum menunjukan suatu keadilan karena belum bisa menjerat semua pihak yang terlibat kasus tersebut. Tanggung jawab pidana terhadap pelaku prostitusi melalui media sosial terdapat dalam UU ITE ini termuat, yaitu pada Pasal 45 ayat (1) tentang Ketentuan Pidan. Dari semua pasal dari UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak ada menyebutkan kata prostitusi di dalamnya. Hanya pada Pasal 27 yang menyebutkan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang, menyebut kata kesusilaan yang menyangkut untuk hal-hal yang mengandung pornografi. Beda halnya kesusilaan dengan prostitusi online. UU ini tidak menjelaskan terhadap sanksi pidana buat para pengguna layanan prostitusi melalui media sosial. Dan pelaku pengguna layanan prostitusi online tidak dapat dijerat, jadi bisa dikatakan UU ini tidak tepat digunakan untuk menanggulangi permasalahan prostitusi online.} }