@thesis{thesis, author={57110004 JOHANNA SILVANA TALUPUN}, title ={PERTAMA TUHAN, KEDUA TETE NENE MOYANG HERMENEUTIK POSKOLONIAL TERHADAP ULANGAN 26:1-15 DAN UPAYA MEMAHAMI PRAKTIK PENGHORMATAN KEPADA NENEK MOYANG DALAM KONTEKS MASYARAKAT KAMARIAN}, year={2018}, url={https://katalog.ukdw.ac.id/1717/}, abstract={Disertasi ini adalah suatu studi hermeneutik Alkitab dengan menggunakan pendekatan tafsir Postkolonial. Hermeneutik Postkolonial memberi ruang untuk memaknai teks Kitab Suci dan berteologi dari konteks lokal termasuk di Maluku. Konteks lokal di Maluku yang dimaksudkan mencakup konteks masyarakat Kamarian-Maluku yang masih mempraktikkan penghormatan kepada tete nene moyang (nenek moyang/leluhur). Praktik penghormatan kepada tete nene moyang yang hidup di dalam budaya masyarakat Kamarian, terkadang menimbulkan perdebatan dengan agama (gereja : GPM) antara boleh dan tidak boleh dilakukan. Persoalan terhadap konteks ini perlu dikaji secara komprehensip agar dapat diterima secara teologis. Kajian ini dimulai dengan melakukan hermeneutik poskolonial terhadap Ulangan 26:1-15 dan dilanjutkan dengan kajian terhadap konteks masyarakat Kamarian. Keduanya dikaji dengan menggunakan hermeneutik poskolonial Hommi Bhabha. Hasil kajian komprehensip ini akan berkontribusi untuk mengonstruksi suatu teologi yang kontekstual sebagai hasil dialog teks Alkitab dengan konteks masyarakat Kamarian-Maluku. Penelitian terhadap teks Alkitab dan konteks masyarakat Kamarian- Maluku menunjukkan bahwa antara orang Israel maupun orang Kamarian tidak melakukan penyembahan kepada tete nene moyang (orang mati). Berbagai ritual bahkan komunikasi dan relasi khusus yang dibangun dengan tete nene moyang merupakan penghargaan atau penghormatan kepada mereka. Baik orang Israel maupun masyarakat Kamarian menganggap bahwa sekalipun tete nene moyang telah meninggal, namun masih dianggap sebagai bagian dari keluarga besar mereka. Secara lahiriah, tubuh mereka telah mati tetapi jiwa mereka tetap hidup dalam dunia tersendiri. Konsep keluarga inilah yang menjadi dasar bagi orang Israel maupun masyarakat Kamarian-Maluku dalam memandang tete nene moyang sebagai bagian integral yang tak tak dapat dipisahkan sehingga perlu melakukan ritual serta relasi dan komunikasi khusus dengan mereka. Makna yang hadir dalam praktik ini menjadi ladang semai untuk berteologi kontekstual dengan memerhatikan proses dialogis transformatif antara budaya lokal dengan agama (gereja). Proses transformasi dilakukan secara dua arah, baik terhadap budaya lokal maupun terhadap agama (gereja).} }