@thesis{thesis, author={Albert Parsaoran Sihotang }, title ={TANAH YANG TERBELENGGU: STUDI EKOHERMENEUTIK TEKS IMAMAT 25:1-28 DAN KONFLIK AGRARIA KABUPATEN DAIRI}, year={2024}, url={https://katalog.ukdw.ac.id/8316/}, abstract={Hari demi hari, diskusi dan pembicaraan tentang alam tiada hentinya. Salah satunya, meningkatnya fenomena bencana alam yang semakin menggugah kegelisahan dan keprihatinan terhadap keadilan ekologis. Tampak bahwa masalah ekologi tidak hanya berdampak pada alam itu sendiri, tetapi juga pada manusia, makhluk hidup, dan bahkan sistem kehidupan yang ada di dalamnya. Kita perlu memberi ?ruang? yang seluas-luasnya kepada tanah sebagai rumah seluruh ciptaan, di mana kehidupan hadir dan Allah ?meresapi? seluruh ciptaannya. Ruang tersebut dihadirkan tidak sekadar sebagai etika, tetapi juga berangkat dari pembacaan teks yang diilhami oleh Allah Sang Pencipta yakni Alkitab. Melalui ekohermeneutik, setiap kita dituntun untuk membaca teks-teks Alkitab dalam kesadaran ekologis, di mana tanah (alam) adalah subjek dalam teks. Alhasil, ekohermeneutik bermuara pada ?pertobatan ekologis? dengan menghadirkan Allah yang imanen dalam setiap ciptaanNya. Melalui tesis ini, penulis mencoba membaca kembali cita-cita Sabat & Yobel dari teks Imamat 25:1-28 dalam kesadaran ekologis di tengah konteks Konflik Agraria Kabupaten Dairi. Pembacaan teks melalui ekohermeneutik dari Norman Habel sebagai metode hermeneutik menyatakan bahwa tanah cenderung dipahami dan diperlakukan dengan tidak adil. Ekohermeneutik menjadi upaya untuk membebaskan tanah yang selama ini terbelenggu oleh ideologi antroposentris. Sedangkan analisa pemetaan konflik agraria (konteks) melalui Teori Etika Tanah Transaksionalisme-Bioregionalisme dari Richard Evanoff menunjukkan bahwa masalah ekologi dan masalah sosial saling berkait-kelindan. Dialog dari ekohermeneutik dan etika tanah ini menghadirkan suatu proses integratif dan holistik; di mana ?pertobatan ekologis? berakar dari pembacaan Alkitab sebagai sumber iman yang otoritatif, menghadirkan sikap etis terhadap alam, hingga membentuk kembali sistem relasional dalam kehidupan komunitas tanah. Dialog ini menegaskan bahwa ketidakadilan ekologis selalu bermuara pada ketidakadilan sosial, sehingga dibutuhkan pemulihan relasi di antara tanah (N), masyarakat (S), dan pribadi (P) yang seimbang dan proporsional dengan memahami Allah yang hadir di setiap unsurnya.} }