@thesis{thesis, author={Prasetiyawati Yusiana Eka}, title ={Tinjauan Yuridis terhadap Implementasi Justice Collaborator dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi}, year={2017}, url={http://repositori.ukdc.ac.id/594/}, abstract={Justice collaborator adalah seseorang tersangka namun bukan pelaku utama dan dapat membongkar kejahatan orang yang berada diatasnya. Justice collaborator bekerjasama dengan aparat penegak hukum dapat mengungkap kejahatan atas kesaksian yang diberikan. Di Indonesia peraturan mengenai justice collaborator diatur dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower ) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborator ) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu dan Peraturan Bersama Nomor: M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor: PER045/A/JA/12/2011, Nomor: 1 Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor: 4 Tahun 2011, tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelaporan dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Permasalahan yang kemudian muncul adalah semua peraturan tersebut tidak ada yang membahas mengenai siapa yang berwenang untuk menentukan status tersangka menjadi justice collaborator. Saksi pelaku harus memberikan keterangan yang signifikan, relevan, dan andal yang dapat dipertanggungjawabkan dan dibuktikan kesaksiannya untuk mengungkap tindak pidana khusus. Pada tulisan ini akan membahas mengenai legalitas atau dasar hukum kewenagan penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi justice collaborator. Contoh yang dapat diambil yaitu kasus yang dialami oleh Rinelda Bandoso yang ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai justice collaborator namun pendapat berbeda diberikan oleh Hakim, sehingga vonis yang diterima oleh Renalda tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Vonis yang diberikan tidak sesuai dengan pemberian informasi yang diberikan kepada penegak hukum untuk membongkar kasus tersebut. Jika hal tersebut terus terjadi maka akan terjadi ketidaksesuaian antara pelaku yang kooperatif dengan reward yang diterimanya. Dalam hal kekosongan hukum ini perlu dibuat suatu perbaikan hukum (legal reform ). Pembahasan dari sisi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban juga terdapat dalam tulisan ini, agar terdapat gambaran mengenai Ius Constitutum (hukum yang berlaku di masa sekarang ) dan Ius Constituendum (hukum yang dicita-citakan). Perbaikan hukum yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penambahan pasal yang mencantumkan pihak yang berwenang untuk menetapkan pelaku menjadi justice collaborator. Perbaikan hukum lainnya yaitu dengan menambahkan syarat pemberian saksi yang diberikan kepada penegak hukum dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal tersebut bertujuan untuk penentuan reward yang diberikan, dengan demikian perbaikan hukum tidak menimbulkan multitafsir kembali oleh penegak hukum dan masyarakat, kewenangan tersebut juga harus diakui oleh instansi yang lain sehingga memiliki keterkaitan dalam penyelesaian sebuah perkara tindak pidana khusus, sehingga dapat tercapai tujuan awal dari pembuatan peraturan hukum itu sendiri yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.} }