@thesis{thesis, author={WEA Wilfridus Dhae}, title ={Solidaritas Gereja Terhadap Kaum Miskin Sebagai Wujud Pertobatan Dalam Injil Luk. 3:10-20 Menjadi Inspirasi Bagi Karya Pastoral Gereja}, year={2021}, url={http://repository.iftkledalero.ac.id/1001/}, abstract={Kemiskinan merupakan salah satu persoalan yang dialami dunia saat ini. Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan melibatkan banyak dimensi baik dari sisi penyebab maupun dari dampak yang ditimbulkan. Karena sangat kompleks dan bersifat multidimensional, maka sangat dibutuhkan penanganan serius dari semua pihak termasuk Gereja. Gereja sebagai mandataris Tuhan di tengah dunia dituntut untuk dapat berperan dalam membantu mengatasi kemiskinan. Gereja dipanggil untuk bersolider dengan kaum miskin. Solidaritas Gereja terhadap kaum miskin dapat mengambil model ulasan Injil Lukas yang menampilkan pribadi Yesus yang begitu dekat dan akrab dengan orang-orang miskin, tertindas dan terpinggirkan. Penginjil Lukas menampilkan keberpihakan Yesus kepada kaum miskin dan kelompok-kelompok yang dipinggirkan dan diasingkan dari masyarakat. Karena itu, Injil Lukas sering disebut sebagai Injil kaum marginal karena memberikan gambaran yang luar biasa tentang keberpihakan dan solidaritas Yesus kepada kaum marginal. Dalam keseluruhan Injil Lukas, teks Luk. 3:10-20 dipilih sebagai teks yang paling relevan dan inpiratif bagi Gereja untuk menjalankan karya pastoral yang berpihak dan bersolider dengan kaum miskin. Solidaritas yang diangkat dalam teks ini memiliki kaitannya dengan pertobatan. Yohanes Pembaptis mengemukakan bahwa solidaritas terhadap kaum miskin sebagai jalan untuk mewujudkan pertobatan. Pertobatan tidak hanya sebatas niat dan mengakui segala dosa, tetapi harus diwujudnyatakan dalam tindakan konkret yakni bersolider dengan kaum miskin. Dalam kaitan dengan solidaritas terhadap kaum miskin sebagai wujud pertobatan, Yohanes Pembaptis mengemukakan tiga tindakan penting yakni berbagi makanan dan pakaian, jangan memeras dan jangan merampas. Tiga tindakan yang dikemukakan Yohanes Pembaptis menjadi inspirasi bagi Gereja dan para pelayan pastoral dalam menjalankan karya pastoral demi membawa pembebasan dan keselamatan bagi kaum miskin. Dari uraian eksegetis dalam Luk. 3:10-20, ada dua pesan teologis yang penting dan relevan dengan perwujudan solidaritas Gereja. Pertama, solidaritas terhadap kaum miskin sebagai wujud pertobatan. Kedua, aktus ?membagi? sebagai bentuk konkret solidaritas terhadap kaum miskin. Kedua pesan ini menjadi semangat dasar dan juga sebagai inspirasi bagi karya pastoral Gereja ketika berhadapan dengan situasi kemiskinan yang dialami umat. Karya pastoral Gereja yang dijalankan harus benar-benar membawa pembebasan bagi kaum miskin. Kaum miskin sangat membutuhkan kehadiran Gereja yang mau bersolider dan membantu mereka untuk keluar dari belenggu penderitaan. Karya pastoral Gereja harus berfokus pada pembebasan dan keselamatan orang-orang miskin. Gereja harus menjadikan option for the poor sebagai opsi utama solidaritas Gereja. Option for the poor mesti menjadi misi yang menjiwai Gereja dalam karyanya di dunia. Pilihan untuk berada bersama kaum miskin adalah pilihan Yesus yang diwariskan kepada setiap orang yang mengikuti-Nya. Maka itu, Gereja perlu mempertahankan identitasnya sebagai Gereja kaum miskin, mengakomodir semua kepentingan dan kebutuhan kaum miskin. Gereja harus menjadikan setiap usaha menyelamatkan dan membebaskan kaum miskin sebagai salah satu fokus dari karya misinya. Pertanyaan orang banyak, para pemungut cukai dan para prajurit, apa yang harus kami perbuat? (Luk. 3:10), hendaknya juga menjadi pertanyaan yang dilontarkan Gereja berhadapan dengan situasi kemiskinan. Yang harus Gereja perbuat adalah Gereja harus bersolider dengan kaum miskin. Solidaritas Gereja terhadap kaum miskin tidak hanya sebatas seruan profetis, tetapi harus diwujudnyatakan dalam tindakan konkret. Bentuk konkret solidaritas Gereja tampak dalam model pelayanan sosial-karitatif, pelayanan reformatif dan pelayanan tranformatif. Ketiga bentuk pelayanan ini dapat dianalogikan demikian: Pelayanan karitatif dapat dianalogikan seperti pelayanan memberikan ikan kepada orang yang lapar, sedangkan pelayanan reformatif adalah pelayanan memberikan alat pancing dan mengajar seseorang untuk memancing. Maka, pelayanan transformatif digambarkan sebagai pelayanan yang mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang untuk berjalan. Jika, Gereja mampu menjalankan semua ini secara baik, maka secara perlahan kemiskinan dapat dikurangi.} }