@thesis{thesis, author={WAWA Kuirinus Moda}, title ={Tanggapan Gereja atas Pemberlakuan Hukuman Mati di Indonesia dalam Terang Ensiklik Evangelium Vitae}, year={2022}, url={http://repository.iftkledalero.ac.id/1092/}, abstract={Penulisan karya ini bertujuan untuk pertama, memahami fenomena pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, dan kedua, memahami tanggapan Gereja atas pemberlakuan hukuman mati tersebut dalam terang Ensiklik Evangelilum Vitae, tulisan Paus Yohanes Paulus II. Jenis studi dan penelitian yang dipakai penulis adalah jenis studi dan penelitian kepustakaan, karena itu metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah analisis data sekunder. Berkat daya akal dan kemampuannya, umat manusia senantiasa bergerak maju menuju peradaban. Umat manusia maju bukan hanya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga dalam pemahaman akan dirinya sendiri, akan makna kehidupan, akan apa yang baik dan yang buruk, dan akan martabat manusia. Dengan kata lain, umat manusia juga maju dalam kesadaran moral. Dengan demikian, umat manusia dapat secara pribadi maupun dalam kehidupan komunal menentukan bagi dirinya dan komunitasnya apa saja yang baik bagi dirinya dan komunitasnya, dan juga mengelak atau menolak apa saja yang mengancam keutuhan dirinya dan komunitasnya. Umat manusia dengannya berkembang menjadi semakin peka, lebih benar, dan perasaan moral umat manusia terasah menjadi semakin mendalam. Sejarah penerapan hukuman mati dapat menjadi contoh perkembangan sikap kritis dan kepekaan manusia. Hukuman mati dalam penerapannya oleh negara-negara global telah mengalami penyusutan dari tahun-ketahun. Banyak negara telah mengabolisikan bentuk hukuman itu dari undang-undang dan sistim pemidanaan mereka. Hukuman mati sudah tidak lagi menjadi alternatif hukuman bagi para penjahat atau terpidana dengan tingkat kejahatan extraordinary crime. Hukuman mati kini dilihat sebagai sebuah bentuk hukuman yang kejam dan mengerikan. Pembentukan lembaga-lembaga internasional (PBB misalnya) juga semakin merangsang penghapusan pidana mati tersebut. Hal tersebut didukung oleh pelbagai bentuk perjanjian internasional yang sepakati bersama oleh komunitas-komunitas internasional. Karena itu, dalam konteks ini dapat dilihat bahwa upaya-upaya untuk menegakkan martabat manusia (misalnya dengan menghapus pemberlakuan hukuman mati) merupakan semangat zaman ini. Dalam konteks Negara Republik Indonesia, hukuman mati masih eksis diterapkan. Hal itu tampak dalam penerapannya beberapa tahun yang silam dan eksisnya bentuk hukuman ini dalam beberapa pasal undang-undang. Selain itu, penerapan hukuman mati juga mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat dan para tokoh agama. Karena itu, upaya-upaya yang dibangun untuk mengabolisikan bentuk hukuman ini dari panggung pemidanaan di republik ini masih harus menempuh jalan yang panjang. Akan tetapi, upaya-upaya yang dibangun kaum abolisionis dan para pejuang HAM tidak akan pernah sia-sia. Upaya-upaya dalam bentuk konsientisasi atau penyadaran harus terus digalakkan. Keberadaan hukuman mati di Indonesia pasca kemerdekaan pun sangat problematis. Pasalnya hukuman mati bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjadi spirit dari pelbagai produk hukum di negara ini. Pancasila dan UUD 1945 di satu sisi memberi penghargaan yang tinggi atas keluhuran dan martabat manusia, tetapi di sisi lain hukuman mati yang melanggar martabat manusia itu masih legal karena terdapat dalam beberapa pasal undang-undang dan KUHP. Berhadapan dengan situasi problematis tersebut di atas, sikap yang pantas diambil adalah dengan setia dan konsisten berpegang pada Pancasila dan UUD 1945. Spirit dasar Pancasila dan UUD 1945 harus menjadi nadi kehidupan seluruh bangsa ini. Gereja Katolik sebagai institusi keagamaan memiliki sikap yang jelas berkaitan dengan praktik hukuman mati. Gereja secara tegas menolak semua bentuk hukum maupun hukuman legal yang menodai harkat dan martabat luhur manusia. Sikap tegas Gereja itu misalnya tampak dalam Ensiklik Evangelium Vitae yang diterbitkan pada masa kepausan Paus Yohanes Paulus II. Ensiklik ini dengan tegas menolak segala bentuk upaya yang mencederai keluhuran hidup manusia serentak menegaskan bahwa nilai luhur hidup manusia itu tidak diganggu-gugat. Berkaitan dengan hal tersebut, ensiklik ini bahkan menjelaskan bahwa ?bahkan pembunuh pun tidak kehilangan martabat pribadinya dan Allah sendiri sanggup menjamin hal tersebut?. Ensiklik ini juga menegaskan bahwa, ?hanya Allahlah yang berdaulat atas hidup dan mati manusia.? Oleh karena itu, berkaitan dengan masalah hukuman mati, ensiklik ini meminta supaya hukuman itu diterapkan dengan sangat terbatas, atau bahkan supaya ia dihapus sama sekali. Dalam konteks umat Kristiani di negara ini, Ensiklik Evangelium Vitae dapat menjadi pegangan yang tepat terutama dalam bersikap. Umat kristiani dapat mengambil hikmah yang diajarkan dari ensiklik ini, kemudian sesuai dengan anjuran dalam ensiklik ini dapat berjuang bersama-sama mempromosikan terbentuknya budaya kehidupan dan menentang semua bentuk undang-undang dan upaya-upaya yang meronggong kehidupan manusia. Oleh karena itu, penulis dalam tulisan ini tanpa ragu mengambil inspirasi dari Ensiklik E} }