@thesis{thesis, author={LANGOBELEN Gregorius Duli}, title ={Dekonstruksi Kultur Patriarki Masyarakat Lamaholot: Tinjauan atas Pengalaman Ketidakadilan Gender Kaum Perempuan di Lamabunga – Adonara dari Perspektif Teologi Feminis Kristen}, year={2021}, url={http://repository.stfkledalero.ac.id/1015/}, abstract={Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana kultur patriarki dalam masyarakat Lamaholot yang menjadi penyebab ketidakadilan gender bagi kaum perempuan didekonstruksi dari perspektif Teologi Feminis Kristen. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian lapangan dan kepustakaan. Pada penelitian di lapangan, proses pengumpulan data dilakukan dengan metode Focused Group Discussion, wawancara yang mendalam, dan pengisian angket, sedangkan penelitian kepustakaan dilakukan dengan mendalami berbagai literatur mengenai budaya Lamaholot dan konsep-konsep kunci tentang teologi feminis Kristen yang berhubungan dengan persoalan ketidakadilan gender akibat melanggengnya kultur patriarki dan upanya-upaya kritis untuk mendekonstruksinya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibuat, disimpulkan bahwa dalam konteks masyarakat Lamaholot, khususnya di wilayah Lamabunga-Adonara, patriarki, sebagai sistem sosial sekaligus ideologi yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam pelbagai peran, telah mendapat tempat yang mapan dan seakan tak terbantah, dalam arti telah menjadi suatu kultur hasil konstruksi sosial budaya masyarakat setempat yang kemudian menyebabkan ketidakadilan gender terutama bagi kaum perempuan. Akan hal ini, dari perspektif teologi feminis Kristen, yaitu sebuah teologi pembebasan yang bergerak atas dasar pengalaman kaum perempuan, kemudian berlanjut pada advokasi terhadap kesederajatan dan kemitraan serta upaya transformatif dan pembebasan harkat dan martabat semua manusia, hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi persoalan di atas adalah mendekonstruksi kultur patriarki yang ada. Dari upaya dekonstruktif tersebut ditemukan bahwa: Pertama, melalui konsep tentang Ama Lera Wulan Ina Tana Ekan sebagai Wujud Tertinggi yang parentalis, gambaran tentang Wujud Tertinggi yang terlalu berkonotasi maskulin dan kerap mengabaikan aspek feminitas atau sifat keibuan dari Allah dapat dikoreksi. Kedua, konsep atadike dalam masyarakat dapat menjadi pintu masuk untuk menegaskan kembali jati diri semua orang, bahwa baik perempuan atau pun laki-laki adalah persona yang setara dan secitra dengan Allah. Ketiga, realitas adat perkawinan yang kerap mendiskreditkan kedudukan kaum perempuan dievaluasi dan diredefinisi berdasarkan konsep perkawinan sebagai sakramen dalam gereja Katolik. Keempat, dengan spirit fiat dan magnificat Maria, masyarakat Lamaholot dapat membangun compassio dan meninggalkan segala sikap dan penghayatan hidup devosional yang fatalistis terhadap salib dan penderitaan. Kelima, melalui kepekaan atau kesadaran feminis, setiap pembangunan dan upaya positif-konstruktif yang dilakukan secara etis selalu berbasis pada perhatian dan kepedulian terhadap kelompok-kelompok yang kerap tertindas, misalnya: perempuan.} }