@thesis{thesis, author={BHUTE Lazarus Didimus}, title ={Dampak Perantauan Terhadap Hidup Perkawinan Katolik Umat Paroki Santa Maria Bunda Karmel Rajawawo Dalam Terang Seruan Apostolik Amoris Laetitia}, year={2020}, url={http://repository.stfkledalero.ac.id/139/}, abstract={Perkawinan dan hidup berkeluarga adalah suatu panggilan dari Tuhan dan dibentuk oleh Tuhan sendiri. Sejak semula Tuhan menghendaki pria dan wanita membentuk persekutuan hidup. Kebersamaan seluruh diri dan hidup antara pria dan wanita dibangun berlandaskan kasih sejati. Kasih inilah yang menggerakan pria dan wanita mengikrarkan janji untuk hidup bersama sebagai satu keluarga seumur hidup. Kasih yang sama mendorong pria dan wanita untuk saling memiliki, melengkapi, menolong dan bekerjasama mewujudkan kesejahteraan dan sukacita hidup keluarga. Kasih yang intim dari keduanya pun menghadirkan kehidupan baru, yakni anak-anak yang adalah anugerah Tuhan sendiri. Perjalanan hidup perkawinan sebuah keluarga dalam seluruh upaya mewujudkan kesejahteraan sebagai tujuan terbentuknya perkawinan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani. Kesulitan dalam mewujudkan kesejahteraan hidup keluarga pun amat dirasakan oleh umat di paroki Santa Maria Bunda Karmel Rajawawo. Tidak sedikit ditemukan keluarga-keluarga yang menjalani hidup tanpa kehadiran sosok suami atau istri. Alasan ketidakberadaan sosok bapak keluarga atau ibu rumah tangga dalam sebuah keluarga adalah perantauan. Perantauan mengharuskan suami atau istri hidup terpisah dari anggota keluarga yang lain. Perantauan menjadi pilihan beberapa keluarga ketika usaha mewujudkan kesejahteraan ekonomi keluarga di lingkungan tempat asal tidak memberi hasil yang memuaskan. Suami atau istri dan keluarga menggantungkan harapan di tanah rantau. Namun kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan. Perantauan viii tidak hanya menjadi peluang dan memberikan dampak positif melainkan juga menjadi tantangan dan membawa dampak negatif bagi keluarga. Bahkan perantauan yang dibuat oleh salah satu pasangan bukan hanya tidak membawa peningkatan ekomomi keluarga tetapi lebih dari itu ialah dapat membahayakan keutuhan perkawinan. Hasil penelitian lapangan terhadap 50 keluarga perantau di paroki Santa Maria Bunda Karmel Rajawawo dan penelitian kepustakaan menunjukkan bahwa perantauan memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah bisa memenuhi tuntutan adat, membiayai pendidikan anak, memenuhi kebutuhan akan kesehatan, memiliki keterampilan dan pengalaman kerja, melunasi iuran paroki, membangun usaha bisnis, membangun rumah, melunasi pinjaman dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Selain itu, dampak negatif dari perantauan adalah melemahnya hubungan suami-istri, melemahnya sikap saling percaya, kurangnya perhatian terhadap perkembangan dan pendidikan anak, beban peran ganda sebagai ayah sekaligus ibu yang dijalani oleh pasangan yang ditinggalkan, kesulitan dalam urusan rohani atau sakramen yang akan diterima oleh anak, sakit fisik dan perselingkuhan. Bertolak dari dampak ngatif dari perantauan sebagai situasi riil keluarga perantau, Paus Fransiskus dalam seruan apostoliknya Amoris Laetitia secara jelas menyatakan bahwa migrasi yang di dalamnya termasuk perantauan adalah tantangan bagi keluarga-keluarga Kristiani dalam dunia dewasa ini. Banyak masalah yang terjadi di tengah hidup keluarga sebagai dampak dari perantauan. Bahkan dampak perantauan bisa sampai pada terputusnya tali perkawinan. Perantauan sebagai tantangan dan berdampak buruk terhadap sukacita kasih perkawinan sudah nyata terasa dan realitas hidup keluarga perantau yang memilukan masih banyak ditemukan. Upaya untuk menyikapi situasi ini tentu bukanlah dengan menghalangi umat untuk merantau atau memanggil para perantau untuk kembali. Langkah yang diambil adalah perawatan atau ix pendampingan secara holistik kepada keluarga-keluarga perantau yang mengalami krisis, kecemasan dan kesulitan dalam hidupnya. Berhadapan dengan situasi keluarga seperti ini, Paus meminta pendampingan yang holistik dan bertahap. Pendampingan dan perhatian terhadap keluarga tidak hanya bagi keluarga perantau atau keluarga yang sudah mengalami krisis. Melainkan untuk seluruh keluarga Kristiani. Pendampingan dimulai dari masa pertunangan, persiapan menikah, tahun-tahun awal perkawinan, di saat mengalami krisis maupun yang sudah berpisah. Pendampingan dibuat dalam bentuk evangelisasi Injil tentang keluarga dan katekese, sosialisasi dan pelatihan, retret, praktik hidup rohani dan Ekaristi serta kunjungan pastoral. Pendampingan ini dijadikan sebagai bagian tetap dari reksa pastoral paroki. Dengan sikap ini, Gereja menyadari bahwa tantangan dalam hidup perkawinan pun berkembang searah zaman. Masalah dalam keluarga bukan hanya menjadi tanggung jawab suami-istri dalam keluarga tersebut. Melainkan menjadi kekuatiran Gereja. Sebab sukacita kasih keluarga adalah sukacita kasih Gereja. Keluarga Kristiani adalah ecclesia domestica.} }