@thesis{thesis, author={ONGGAL Servasius Masyudi}, title ={Gerakan Pembebasan dalam Novel Serial Tetralogi Buru Karya Pramoedya Ananta Toer dan Relevansinya terhadap Pengembangan Teologi Kontekstual di Indonesia.}, year={2021}, url={http://repository.stfkledalero.ac.id/997/}, abstract={Penelitian ini bertujuan untuk (1) menemukan korelasi antara gerakan pembebasan dalam novel Tetralogi Buru dengan Teologi Pembebasan Amerika Latin. (2) menemukan relevansi gerakan pembebasan dalam novel Tetralogi Buru terhadap pengembangan Teologi Kontekstual di Indonesia. Pendekatan yang dipakai adalah landasan konseptual Teologi Pembebasan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan sumber data dari dokumen tertulis (penelitian kepustakaan). Sumber data primer adalah novel serial Tetralogi Buru. Sumber data sekunder adalah dokumen-dokumen dan tulisantulisan yang membahas novel Tetralogi Buru, pengarang Tetralogi Buru, dan buku-buku tentang Teologi Pembebasan (Teologi Kontekstual). Metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik non-interaktif yang meliputi analisis isi terhadap dokumen dan arsip. Langkah-langkahnya ialah: 1) Membaca berulang-ulang novel serial Tetralogi Buru, 2) Mengumpulkan dan mempelajari teori-teori yang relevan dengan tema penelitian, 3) Mencatat dan menganalisis data berupa kutipan penting yang relevan dengan permasalahan. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis model mengalir. Langkah-langkah teknik analisis model mengalir adalah sebagai berikut: mengumpulkan data, mereduksi data, display data, dan menarik kesimpulan akhir. Dewasa ini, fakta penderitaan manusia tidak hanya dimuat di dalam ilmuilmu sejarah, museum, atau monumen peringatan. Penderitaan juga dilukiskan melalui karya-karya seni, seperti karya sastra. Novel Tetralogi Buru adalah salah satu karya sastra yang menampilkan realitas penderitaan. Tetralogi Buru terdiri atas empat bagian, yakni: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Tetralogi Buru bercerita tentang gerakan pembebasan atas berbagai macam penderitaan untuk menjadi manusia merdeka. Gerakan pembebasan terjadi oleh karena pengalaman penderitaan kolektif masyarakat. Penderitaan kolektif itu, yakni: kemiskinan, penindasan, rasialisme, diskriminasi, eksploitasi sumber daya dan manusia, komodifikasi tubuh, agresi militer, penganiayaan, pelanggaran HAM, ketidakadilan hukum, buta huruf dan pengasingan. Penyebab penderitaan itu adalah kolonialisme, feodalisme dan mentalitas buruk kaum pribumi. Pengalaman penderitaan melahirkan kesadaran-kesadaran baru pribumi, seperti: hak asasi manusia, kesetaraan gender, kebebasan, dan humanisme. Ketika kesadaran-kesadaran itu dikonfrontasikan dengan penderitaan, maka gerakan pembebasan semakin kuat dilakukan. Gerakan pembebasan itu, yakni: integrasi, perlawanan massal, keberpihakan atas para penderita, emansipasi kemanusiaan, advokasi hukum, menciptakan masyarakat egaliter dan demokratis, aksi mogok massal (boycott), solidaritas, keterlibatan para korban, dan perjuangan tanpa kekerasan. Gerakan itu pula disokong oleh media-media demokratis, seperti: pendidikan, media massa (koran), organisasi, karya seni, sastra dan bahasa. Hasil penelusuran atas novel Tetralogi Buru menyimpulkan dua hal penting. Pertama, gerakan pembebasan dalam novel Tetralogi Buru sangat korelatif dengan Teologi Pembebasan Amerika Latin. Kaitannya, yakni: penderitaan sebagai titik tolak gerakan, penekanan pada praksis, berorientasi pembebasan utuh manusia, penggunaan metafora, dan tuduhan mengandung unsur Marxisme. Walaupun korelatif dan paralel, kedua gerakan ini tetap memiliki kekhasan masing-masing. Kekhasan itu terutama terdapat dalam metode yang diterapkan, instrumen yang dipakai, dan konteks sosial masyarakat yang berbeda. Kedua, Gerakan Pembebasan dalam novel Tetralogi Buru sangat relevan terhadap pengembangan Teologi Kontekstual di Indonesia. Relevansinya adalah sebagai berikut. (1) Gerakan pembebasan dalam Tetralogi Buru menjadi acuan dalam perjuangan mengatasi penderitaan bentuk baru di Indonesia. (2) Tetralogi Buru menggagas rekonstruksi sejarah. (3) Tetralogi Buru menyokong pengembangan studi yang kompleks atas manusia Indonesia sebagai subjek dan objek Teologi Kontekstual. (4) Tetralogi Buru mendorong gerakan emansipasi, humanisme, dan pengakuan HAM di Indonesia. (5) Tetralogi Buru memacu partisipasi umat dalam berteologi. (6) Tetralogi Buru mengilhami peralihan teologi: dari ‘teologi di Indonesia’ menjadi ‘teologi (yang) Indonesia’. (7) Tetralogi Buru memacu penggunaan karya sastra sebagai sarana berteologi di Indonesia.} }