@thesis{thesis, author={Hasan Muhammad Zaffri}, title ={Kewajiban Penyelesaian Perselisihan Oleh Kepala Desa Menurut Pasal 26 Ayat (4) Huruf K Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa}, year={2018}, url={http://repository.ub.ac.id/id/eprint/9581/}, abstract={Dalam rangka melaksanakan kewenangan pemerintahan desa itu, maka Kepala Desa sebagai pembina kemasyarakatan desa memiliki kewenangan, hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Desa, Pasal 26 ayat 1 dan 2 (huruf F dan G), jelas bahwa salah satu kewenangan kepala desa adalah membina kehidupan masyarakat desa dan membina ketentraman dan ketertiban masyarakat desa. Dalam Pasal 26 ayat (4) huruf K disebutkan bahwa salah satu kewajiban Kepala Desa adalah menyelesaikan perselisihan masyarakat di Desa. Dalam pelaksanaan kewenangan tersebut kepala desa dapat menempuh langkah-langkah fasilitasi, mediasi, pembinaan dan motivasi bagi masyarakat desa untuk menyelesaian konflik yang terjadi antar warga desa. Ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sama sekali tidak menjelaskan tentang jenis perkara/perselisihan, mekanisme, bentuk, produk putusan maupun implikasi hukum dari penyelesaian perselisihan kepala desa. Sekaligus dalam peraturan pemerintah tersebut tidak dijelaskan apakah kepala desa bertindak sebagai “hakim desa” atau sebagai mediator seperti dalam alternatif dispute resolution (ADR). Sehingga jangkauan kasus yang harus diselesaikan oleh Kepala Desa menjadi seolah tidak terbatas. Terkait Hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan kajian lebih lanjut dalam bentuk penulisan skripsi dengan judul “KEWAJIBAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN OLEH KEPALA DESA MENURUT PASAL 26 AYAT (4) HURUF K UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA”. Rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah : Pertama kewenangan Kepala Desa memiliki kewenangan untuk menyelesaikan semua jenis perselisihan di Desa. Kedua, konsekuensi yuridis bagi para pihak apabila hasil penyelesaian tidak dilaksanakan. Tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang berarti mencari kesesuaian norma hukum, prinsip hukum dengan fenomena hukum yang ada. Pendekatan ang penulis gunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Kesimpulan dalam penulisan ini adalah yang pertama, Kepala Desa berwenang untuk menyelesaikan segala sengketa yang terjadi di wilayahnya tanpa terkecuali. Hal tersbut berdasarkan pada Pasal 26 Ayat 4 huruf K Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Pada saat terjadi perselisihan atau sengketa oleh warganya maka Kepala Desa menjadi penengah dari pihak-pihak yang bersengketa sehingga pihak-pihaknya sepakat untuk berdamai. Kedua, Konsekuensi yuridis bagi para pihak apabila hasil penyelesaian tidak dilaksanakan, untuk yang menyangkut soal perdata sepanjang hasil penyelesaian tersebut telah disahkan menjadi akta perdamaian oleh hakim pengadilan, maka pihak yang dirugikan berhak mengajukan permohonan eksekusi berdasarkan pasal 130 ayat (2) HIR, sebab kekuatan akta perdamaian sama seperti putusan yang berkekuatan hukum tetap. Sementara untuk yang menyangkut soal pidana, maka kasus pidana harus diselesaikan di pengadilan formal sesuai dengan prosedur yang ada dengan hasil putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Saran dalam penulisan skripsi ini adalah yang pertama sebaiknya dibuat aturan pelaksana yang jelas yang mengatur secara khusus tentang tugas dan wewenang kepala desa untuk menyelesaikan perselisihan di desa. Termasuk di dalamnya diatur klasifikasi sengketa apa saja yang mampu diselesaikan kepala desa, serta bagaimana teknis pelaksanaan penyelesaian. Guna memberi batasan yang jelas terhadap kewenangan kepala desa. Dan yang kedua sebaiknya juga dibuat pengaturan lebih lanjut secara khusus tentang tugas dan wewenang kepala desa dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi di desa, mekanisme mediasi, bentuk hasil penyelesaiannya serta akibat hukum apabila hasil tersebut tidak ix dilaksanakan oleh pihak yang bersengketa. Sehingga ada aturan yang jelas bagi para pihak apabila tidak melaksanakan ketentuan penyelesaian sengketa.} }