@thesis{thesis, author={Dwi Safitri (NIM. 5021911023)}, title ={Resolusi konflik dan intervensi pemerintah (kajian konflik agraria di Dusun Air Abik, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka)}, year={2024}, url={http://repository.ubb.ac.id/10004/}, abstract={Studi dalam penelitian ini membahas mengenai konflik agraria perebutan hak milik lahan antara masyarakat Dusun Air Abik dan perusahaan perkebunan kelapa sawit (PT GPL) di tanah adat Orang Lom Dusun Air Abik. Masing-masing pihak menganggap bahwa mereka berhak atas kepemlikan lahan. Perusahaan menganggap bahwa mereka berhak atas kepemilikan wilayah tanah adat berdasarkan surat izin yang telah dikeluarkan pemerintah. Sedangkan masyarakat menganggap bahwa mereka memiliki hak atas tanah berdasarkan patok tanah leluhur dan masih berada pada kawasan masyarakat setempat. Kebijakan tersebut menimbulkan resistensi dari Orang Lom karena mengubah lanskap tanah dari semula untuk bertani menjadi lahan produktif untuk kepentingan industri dan proses pembebasan lahan dianggap telah merampas tanah adat. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis resolusi konflik agraria dan intervensi pemerintah. Teori yang digunakan untuk menganalisis resolusi konflik dalam penelitian ini adalah teori kebutuhan manusia oleh Simon Fisher. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian kualitatif. Sementara teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ialah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa konflik agraria yang melibatkan masyarakat Dusun Air Abik dan PT Gunung Pelawan Lestari telah terjadi selama lebih dari satu dekade. Konflik ini juga melibatkan elit lokal yakni Kepala Dusun Air Abik dan elit daerah yakni anggota BPD yang memiliki peranan sebagai pintu masuknya perusahaan ke Dusun Air Abik. Resolusi konflik hanya datang dari satu pihak yakni masyarakat yang mengajukan permohonan MHA ke Bupati Bangka pada tahun 2023. Bentuk intervensi dari pemerintah yakni menerbitkan regulasi berupa kebijakan untuk melestarikan komunitas adat Orang Lom, kemudian kebijakan izin lokasi untuk tanah seluas sekitar 13.565 Ha untuk keperluan perkebunan kelapa sawit dengan pola inti plasma, dan program PTSL yang dilakukan oleh BPN. Namun, sampai saat ini kebijakan yang ditetapkan pemerintah tidak sampai pada tahapan implementasi karena kebijakan tersebut tidak sejalan dengan kepentingan perusahaan sebagai implementor. Selain itu langkah sinergis dan penegakan peraturan dari ketiga lembaga, eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus dilakukan secara ekstrem demi pihak yang dirugikan. Oleh sebab itu kebijakan yang ditetapkan pemerintah menjadi tidak efektif sehingga konflik agraria tidak kunjung menemukan penyelesaian.} }