@thesis{thesis, author={Hansein Gilbert}, title ={Penerapan Pidana Tambahan Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak Bila Ditinjau Dari Tujuan Pemidanaan Dan Hak Asasi Manusia (HAM) (Studi Putusan Nomor: 42/Pid/2021/PT TJK/)}, year={2022}, url={http://repository.uki.ac.id/8779/}, abstract={Kebiri kimia merupakan tindakan penyuntikan cairan kimia dimana menyebabkan hormon testosteron melemah dan dapat menimbulkan kerusakan pada fungsi organ tubuh yang lainnya. Diperbolehkannya kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual pada anak menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat karena dianggap tidak menghargai kesempatan manusia untuk mempertahankan kehidupannya dan keturunannya. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan pidana tambahan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak ditinjau dari tujuan pemidanaan dan hak asasi manusia (HAM) dan bagaimana penerapan pidana tambahan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak (Studi Putusan Nomor : 42/Pid/2021/PT TJK). Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif yaitu mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku menggunakan studi kepustakaan berupa buku-buku hukum, peraturan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian seperti jurnal, skripsi, tesis, disertasi, pendapat hukum, surat kabar dan lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Hasil penelitian menujukan bahwa penerapan pidana tambahan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak ditinjau dari tujuan pemidanaan dan hak asasi manusia (HAM) diperbolehkan sebagai ganjaran bagi pedofil yang melakukan kekerasan seksual pada anak. Penerapan pidana tambahan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak (Studi Putusan Nomor 287/Pid.Sus/2020/PN.Sdn jo Putusan Nomor 42/Pid/2021/PT TJK) Hakim Pengadilan Negeri pada awalnya memberikan hukuman penjara, denda dan kebiri kimia, namun Hakim Pengadilan Tinggi menghapuskan hukuman tambahan kebiri kimia./ Chemical castration is the act of injecting a chemical liquid that causes the testosterone hormone to weaken and can cause damage to functions of the organ. The permissibility of chemical castration for prepetrators of sexual violence has caused debate among the public because it is considered not to appreciate the opportunity for humans to maintain their lives and continue their offspring.the research question of the problem in this study is how to apply additional criminal chemical castration for prepetrators of sexual violence against childern in terms of the purpose of punishment and human rights and how to apply additional punishment to chemical castration for prepetrators of sexual violence against children. The research methodology used is normative legal research. This methodology is examining or reviewing laws that are conceptualized as applicable norms or rules by using literature studies in the form of legal books, legislation, research results such as journals, theses, dissertations, legal expert opinions, newspapers and things that related to the issues. The results showed that the implementation of additional punishment of chemical castration for prepetrators of sexual violence against children in terms of the purpose of punishment and human rights is allowed as a punishment for pedhopiles who commit sexual violence against childern. The implementation of additional punishment of chemical castration for prepetrators of sexual violence against childern (Studi Putusan Nomor 287/Pid.Sus/2020/PN.Sdn jo Putusan Nomor 42/Pid/2021/PT TJK) The Judges of the District Court initially gave a prison sentence, a fine and chemical castration, but the Judges of the High Court abolished the additional sentence chemical castration.} }