@thesis{thesis, author={Ardyaningtyas Elsa Monara}, title ={MAKNA KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM PENERBITAN PERPPU NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA PERSPEKTIF PUTUSAN MK NOMOR 138/PUU-VII/2009}, year={2024}, url={http://repository.untagsmg.ac.id/786/}, abstract={Sebenarnya masih banyak Masyarakat yang belum bahkan tidak memahami apa yang dimaksud dengan peraturan pengganti undang-undang atau yang biasa kita sebut dengan Perpu. Jangankan Masyarakat luas yang mungkin Sebagian besar buta akan perundang-undangan bahkan pemerintah pun tampaknya belum menghayati akan makna Perppu sehingga terdapat kesan ?perppu seenaknya diterbitkan?. Tipe penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu hukum yuridis normative, Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang bertujuan untuk memaparkan atau menggamarkan secara tepat untuk menjamin kefaktualan data untuk dapat dipertanggungjawabkan. Penulis menggunakan Analisa secara deskriptif kualitatif. Penulis menggunakan sumber data sekunder dalam penelitian skripsi ini yang diperoleh dari studi kepustakaan. Penelitian ini penlis menggunakan metode penelitian deskriptiv maka semua data yang dipoeroleh dari para pakar hukum, buku-buku, literatur-literatur dan sumber-sumber terkait Konsep Negara Hukum sebagai Landasan Perppu. Gagasan prihal negara hukum sering dianggap sebagai gagasan yang cukup ideal, hal tersebut ditegaskan oleh hasil dari Sejarah kehidupan ketatanegaraan sebuah Masyarakat dalam suatu bangsa. Demokrasi menjadi suatu jalan kebebasan rakyat yang mempunyai prinsip dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Konsep kegentingan hal ihwal kegentingan yang memaksa sebenarnya sudah ada tercantum dan tertera dalam pasal 22 UUD NRI 1945 sebagai syarat pembentukan Perppu, namun hingga sekarang perdebatan mengenai konsep tersebut masih banyak terjadi dikarenakan tidak adanya konsep dan Batasan yang jelas mengenai hal ihwal kegentingan yang memaksa. Karena dengan ketidak jelasnya pengaturan secara rinci mengenai istilah ?kegentingan yang memaksa? dalam mekanisme penerbitan Perppu, maka hal tersebut menjadikan peluang untuk Presiden secara subjektif untuk menerjemahkan atau memaknai ?kegentingan yang memaksa? secara multitafsir.} }