@thesis{thesis, author={KUMALASARI RATIH}, title ={KEDUDUKAN ANAK KANDUNG DAN ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI DITINJAU DARI PEMBAGIAN HARTA WARIS MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM}, year={2019}, url={http://repository.upm.ac.id/1419/}, abstract={Perkawinan sirri merupakan perkawinan yang dilakukan secara rahasia. Perkawinan ini cukup dihadiri dengan wali dari mempelai perempuan, ijab qobul, mahar dan dua orang saksi laki ? laki dan tidak melibatkan petugas dari Kantor Urusan Agama. Perkawinan sirri dianggap sah oleh agama, namun tidak mendapat perlindungan hukum oleh negara bagi yang melakukan dan anaknya. Ini akan berdampak pada kedudukan anak dan perlindungan hukum serta pembagian harta waris. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan anak kandung dengan anak hasil perkawinan sirri dalam pembagian harta waris Islam dan bagaimana perlindungan hukum anak kandung dengan anak hasil perkawinan sirri. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif, yaitu memperoleh data sekunder tentang peraturan perundang-undangn yang berlaku saat ini yang berkaitan dengan kedudukan anak, perlindungan hukum anak dan pembagian harta waris. Dan menggunakan analisis data deskriptif kualitatif yang kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif yaitu bersifat umum ke yang bersifat khusus. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa kedudukan anak kandung adalah anak sah yang mempunyai hubungan nasab denga kedua orang tuanya. Sedangkan anak hasil perkawinan sirri terbagi tiga pola : Pertama, perkawinan yang tidak memenuhi norma agama dan norma hukum, maka anak itu disebut anak luar kawin (anak zina), anak ini tidak mendapat perlindungan hukum oleh negara dan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Kedua, perkawinan yang hanya memenuhi norma agama sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, status anak tetap anak sah tetapi tidak mendapat perlindungan hukum dan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya saja karena perkawinan orang tuanya tidak memenuhi Pasal 2 ayat (2) yang mengharuskan perkawinan dicatatkan di KUA. Ketiga, perkawinan yang memenuhi kedua nya norma agama maupun norma hukum sesuai yang diatur Pasal 1 dan 2 UU Perkawinan dan Pasal 2 KHI, maka status anak adalah anak sah dan mendapat perlindungan hukum oleh negara dan berakibat diantara mereka memiliki hubungan nasab. Akan tetapi setelah adanya Putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 mengatur status anak hasil perkawinan sirri menjadi setara dengan anak sah jika bisa dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan alat bukti lain bahwa mempunyai hubungan darah.} }