DETAIL DOCUMENT
Makna Ritus Tegu Wata Pada Masyarakat Boru Dalam Perbandingannya Dengan Ekaristi Sebagai Perayaan Syukur Dan Implikasinya Terhadap Karya Pastoral Gereja
Total View This Week46
Institusion
INSTITUT FILSAFAT DAN TEKNOLOGI KREATIF LEDALERO
Author
HIKON, Viktorinus Dale
Subject
BL Religion 
Datestamp
2020-10-21 08:08:40 
Abstract :
Konsili Vatikan II membuka pintu Gereja terhadap pengaruh dari luar yang menyegarkan dan membiarkan kebudayaan dan agama lain memperkaya Gereja. Gereja tidak lagi mengurung Allah yang terbatas dalam dirinya sendiri, tetapi sebaliknya membiarkan Allah berkarya dan menyapa manusia dalam sejarah dan kebudayaan masing-masing untuk menyelamatkannya. Sejak itu, Gereja mengambil sikap dialog dan mengakui adanya hal yang benar dan suci dan adanya benih-benih Ilahi dalam budaya lain. Gereja melihat bahwa di dalam setiap budaya, Allah menyatakan kehadiran ilahi-Nya. Jauh sebelum para misionaris datang ke dalam suatu masyarakat tertentu untuk memperkenalkan agama Kristen, Allah sudah lebih dahulu hadir dan bekerja dalam budaya suatu masyarakat untuk kebaikan masyarakat itu. Kehadiran dan karya Allah dalam budaya inilah yang membuat budaya suatu masyarakat memiliki kandungan nilai-nilai religius yang kaya. Salah satu budaya dalam masyarakat Flores, terkhususnya masyarakat Boru yang memiliki kandungan nilai-nilai religius adalah ritus tegu wata. Masyarakat Boru memandang ritus tegù watà sebagai puncak dari serangkaian ritus yang terjadi di wilayah itu. Karena itu, dalam tesis ini penulis hendak menggali dan mencari korelasi dalam ritus tegu wata dalam hubungan dengan nilai-nilai atau ajaran-ajaran Kristiani. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan masyarakat Boru khususnya mengenai keadaan geografis, kependudukan, kehidupan sosial budaya dan kepercayaannya (2) mendeskripsikan ritus tegù watà dan menjelaskan makna ritus tersebut sebagai ekspresi religiositas masyarakat Boru (3) menjelaskan makna Ekaristi sebagai perayaan syukur (4) menunjukkan perbedaan dan kesamaan antara makna ritus tegù watà dan Ekaristi sebagai perayaan syukur (5) menunjukkan implikasi pastoral dari perbandingan kedua makna tersebut. Penulis membuat penelitian di Desa Boru, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur. Desa Boru merupakan bagian dari wilayah Paroki St. Maria Ratu Semesta Alam Hokeng, Keuskupan Larantuka. Subjek dari penelitian ini adalah masyarakat Desa Boru, tetapi penulis hanya memfokuskan diri pada beberapa informan kunci yang mengetahui dengan baik tentang ritus tegù watà. Metode yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah metode penelitian lapangan dengan instrumen pengumpulan datanya adalah wawancara dan observasi partisipatoris. Asumsi sementara dari penulis ketika membuat penelitian ini, yaitu ritus tegù watà pada masyarakat Desa Boru dapat dibandingkan dengan Ekaristi dalam Gereja Katolik untuk mempertebal iman umat. Bahkan ritus tegù watà dapat membantu masyarakat untuk menghayati nilai dari ungkapan syukur kepada Wujud Tertinggi, sehingga iman umat semakin diperteguh berkat keberakaran pada Wujud Tertinggi dalam ritus tersebut. Berdasarkan hasil penelitian lapangan dan studi kepustakaan disimpulkan bahwa perayaan Ekaristi dan perayaan adat tegù watà adalah dua kutub yang dinamis. Kedua perayaan ini tidak kaku dalam dirinya sendiri. Perayaan Ekaristi dan perayaan adat tegù watà merupakan potensi yang membantu orang Boru untuk menjelaskan segala macam proses yang berlangsung dalam dunia. Dengan demikian, tidak ada Allah yang berdiri sendiri sebagai prinsip kekekalan dalam masing-masing perayaan sebab baik dalam peerayaan Ekaristi maupun dalam adat tegù watà terdapat satu fokus iman, yakni Allah Pencipta, Lera wulan tana ekan. Dengan kata lain, segala produk tentang Allah dalam perayaan Ekaristi dan perayaan adat tegù watà berada dalam satu kesatuan. Kenyataan menunjukkan bahwa kedua perayaan ini tidak berada tanpa dimensi teologis. Karena itu, di sini harus dikatakan bahwa perayaan Ekaristi dan perayaan adat tegù watà saling melengkapi. Karena kedua perayaan ini saling melengkapi dan dalam beberapa hal terdapat titik temu maka menurut penulis, inkulturasi adalah jalan untuk mempertemukan pewartaan Kristen tentang Ekaristi dengan perayaan adat tegù watà. Namun, penulis menyadari bahwa tidak semua perayaan adat tegù watà memungkinkan upaya inkulturasi, sebab baik perayaan Ekaristi maupun perayaan adat tegù watà memiliki otonominya masing-masing. Dalam banyak hal, kedua perayaan ini berbeda. Karena itu, proses inkulturasi mesti bertumpu pada dialog yang akrab antara perayaan adat agama asli orang Boru dan perayaan Ekaristi yang juga dihidupi orang Boru. Dalam proses inkulturasi itu, kita tidak berusaha mensejajarkan segala sesuatunya semacam kompromi, tetapi mengembangkan secara dialektis-kreatif sesuatu yang dapat diterima oleh semua sudut pandang. Dalam hal ini, setiap pecahan budaya, baik Kekristenan dalam perayaan Ekaristi maupun orang Boru dalam adat tegù watà dievaluasi secara kritis sehingga menghasilkan suatu nilai baru yang transformatif. 
Institution Info

INSTITUT FILSAFAT DAN TEKNOLOGI KREATIF LEDALERO