Institusion
INSTITUT FILSAFAT DAN TEKNOLOGI KREATIF LEDALERO
Author
SUSABUN, Antonius Oktaviano
Subject
B Philosophy (General)
Datestamp
2020-10-22 05:20:35
Abstract :
Studi ini bertujuan untuk (1) menjelaskan limitasi kapitalisme-neoliberal dalam proyek demokrasi lokal di Indonesia post-Soeharto, (2) menawarkan gerakan kewarganegaraan aktif yang berkontribusi sebagai alternatif bagi pembajakan demokrasi lokal, dan (3) memenuhi sebagian dari prasyarat untuk mencapai gelar sarjana filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.
Keruntuhan rezim Orde Baru yang ditandai oleh pengunduran diri Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 silam menjadi angin segar harapan baru bagi perjalanan bangsa Indonesia. Betapa tidak, kekuasaan otoriter yang disokong kekuatan oligarki sultanik dan kekuatan militer menjadi racun bagi demokrasi Indonesia sejak Soeharto mengadakan kudeta terselubung terhadap Presiden Soekarno pada tahun 1965-1966. Pelbagai macam penyelewengan kekuasaan pada masa Soeharto terbingkai dalam suatu struktur kekuasaan ekonomi politik yang dikendalikan secara otoriter-militeristik oleh presiden sebagai ‘sultan’ (patron) dan kroni-kroninya sebagai klien yang menjadi tiang penyangga. Logika ekonomi politik kapitalisme menjadi panduan bagi kekuasaan Soeharto yang mementingkan kesejahteraan pribadi, keluarga dan segelintir elite di sekelilingnya (perusahaan swasta nasional dan asing) serentak menjadi petaka bagi masyarakat bawah. Pola relasi kuasa oligarkis Soeharto berdiri di atas basis ekonomi politik kapitalisme yang berekspansi secara global melalui propaganda lembaga-lembaga keuangan internasional, perusahaan transnasional dan negara-negara superpower, terutama Amerika Serikat.
Kelahiran era reformasi serentak disertai oleh berbagai macam tuntutan masyarakat yang mengandung desakan perubahan di segala lini kehidupan, terutama sosial, politik dan ekonomi. Salah satu dari tuntutan-tuntutan tersebut adalah desentralisasi kekuasaan politik yang mengusung gagasan otonomi daerah. Gagasan desentralisasi atau otonomi daerah sejak awal dilayangkan sebagai antitesis atas sentralisasi kekuasaan Soeharto. Desentralisasi yang merujuk pada polisentrisme kekuasaan di berbagai wilayah daerah diyakini sebagai pintu bagi demokratisasi politik. Dengan kata lain, demokrasi yang mandek di era Soeharto dibangkitkan kembali melalui desentralisasi politik di era reformasi.
Kendatipun demikian, desentralisasi secara de facto ternyata tidak seindah yang diharapkan. Istilah ‘reformasi’ ternyata hanya berarti pembentukan kembali pola-pola kekuasaan lama yang sebelumnya menyusu pada struktur ekonomi politik buatan Soeharto. Formasi negara neoliberal sejak dekade 1980-an yang mendasari konstelasi politik lokal pada masa post-Soeharto terbingkai dalam proyek global bernama desentralisasi. Dalam kenyataan, desentralisasi atau lokalisasi kekuasaan berjalan beriringan dengan globalisasi ekonomi neoliberal sebagai proyek simultan. Lokalisasi kekuasaan dikampanyekan oleh agen neoliberalisme dalam mekanisme neoinstitusionalis pasca krisis 1997-1998 untuk menopang pergerakan pasar bebas global yang semakin ekspansif. Dalam logika neoliberal, desentralisasi adalah salah satu agenda reformasi kekuasaan politik yang bertujuan untuk mendukung eksploitasi yang lebih serius terhadap masyarakat lokal dan sumber daya alam. Neoliberalisme membingkai desentralisasi dalam logika ekonomi pasar bebas sehingga tujuan kesejahteraan umum menjadi utopis sedangkan akumulasi kekayaan material dan kekuasaan politik semakin marak dilakukan oleh elite predatoris lokal, nasional dan internasional.
Paradigma neoinstitusional sebagai varian neoliberalisme ternyata menjadi petaka bagi demokratisasi lokal. Desentralisasi tidak menjadi solusi bagi kesejahteraan masyarakat lokal tetapi bahkan menjadi petaka ketika struktur kekuasaan oligarkis berkembang biak secara jauh lebih bebas dalam iklim yang lebih demokratis. Dinamika politik lokal post-Soeharto ditandai oleh bangkitnya elite-elite politiko-bisnis yang memandu proyek kesejahteraan berdasarkan format neoliberal. Pembangunan di tingkat lokal berorientasi investasi (nasional dan asing), penuh dengan intrik korupsi, dan relasi kuasa dalam lingkaran aliansi elite predator dibangun dalam mekanisme patronase-klientelistik. Institusi demokrasi di tingkat lokal dimanfaatkan sebagai ruang baru bagi penetrasi neoliberalisme demi pengekalan status quo elite, misalnya pembajakan pilkada melalui mekanisme jual-beli suara (vote-buying).
Kebangkitan rezim lokal yang diisi oleh aliansi politisi-pebisnis membentuk relasi bercorak neoliberal antara negara dan masyarakat. Variasi rezim lokal di Indonesia post-Soeharto secara umum mengandung tiga praktik penyelewengan yang paling dominan, yaitu politik uang dan mekanisme patronase-klientelistik, korupsi, dan pembangunan yang bergaya perburuan rente. Di tengah gempuran eksploitasi sumber daya alam, korupsi dan praktik politik uang yang semakin marak, masyarakat lokal menjadi tidak lebih dari pemilih dalam pilkada dan konsumen produk-produk investasi neoliberal. Konsentrasi kekayaan yang melimpah di pihak elite lokal menyebabkan kemiski