DETAIL DOCUMENT
Paradoks Demokrasi Liberal Menurut Chantal Mouffe: Telaah Analitis dan Kritik
Total View This Week21
Institusion
INSTITUT FILSAFAT DAN TEKNOLOGI KREATIF LEDALERO
Author
JEHALUT, Ferdinandus
Subject
B Philosophy (General) 
Datestamp
2020-11-10 02:23:33 
Abstract :
Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama. Pertama, untuk menjelaskan apa itu demokrasi, liberalisme, dan demokrasi liberal. Kedua, untuk menganalisis dan menjelaskan paradoks demokrasi liberal menurut Chantal Mouffe. Ketiga, untuk menguraikan sejumlah tanggapan dan kritik terhadap pandangan Chantal Mouffe tentang paradoks demokrasi liberal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode analisis data sekunder. Penulis berusaha mencari, membaca, dan menganalisis buku-buku, jurnal, berita, dan tulisan-tulisan lainnya yang berhubungan dengan tema ini, baik yang ditulis oleh Chantal Mouffe sendiri maupun oleh para penulis lain sejauh berhubungan dengan tema yang digarap. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa demokrasi liberal yang merupakan artikulasi dari tradisi demokrasi dan liberalisme memiliki sejumlah paradoks yang tak teratasi. Dari tradisi demokrasi terdapat prinsip-prinsip seperti kesetaraan, kedaulatan rakyat, dan identitas antara yang memerintah dan diperintah. Dari tradisi liberalisme terdapat prinsip-prinsip seperti peraturan hukum, jaminan terhadap hak asasi manusia, dan kebebasan individual. Dari sejumlah prinsip itu, paradoks yang paling mendasar terdapat pada prinsip kebebasan yang merupakan warisan liberalisme dan kesetaraan yang merupakan warisan demokrasi. Paradoks antara kedua prinsip ini tidak bisa diatasi dan menjadi roh pendorong perkembangan politik historis. Selain paradoks di atas, paradoks lain dari demokrasi liberal menurut Chantal Mouffe ialah berkaitan dengan logika inklusi (pelibatan) dan eksklusi (pengucilan). Demokrasi selalu menarik garis batas antara orang yang termasuk demos dan orang yang tidak termasuk demos. Antara demos dan yang bukan demos tidak bisa dituntut dan diberlakukan kewajiban dan hak-hak yang sama. Yang boleh menuntut hak dan kewajiban yang sama hanyalah orang yang masuk dalam kategori demos yang dibatasi oleh konsep negara-bangsa. Persolan justru muncul ketika prinsip ini dihubungkan dengan prinsip kesetaraan liberal yang bersifat universal dan tidak dibatasi oleh konsep negara-bangsa. Kesetaraan liberal adalah kesetaraan semua umat manusia. Dasarnya terletak pada ide utama liberalisme, yakni kemanusiaan universal. Sedangkan ide utama demokrasi adalah warga negara (demos). Dari dua paradoks konstitutif di atas, muncul paradoks berikutnya, yakni paradoks praksis historis politik. Paradoks praksis historis politik berkaitan dengan konsekuensi logis kerangka konstitutif demokrasi liberal dan pengejawantahan nyatanya sebagai praksis politik. Paradoks ini tampak dalam semakin menguatnya hegemoni neoliberalisme dan kapitalisme global. Dalam analisis penulis, di Indonesia, hal itu tampak dalam semakin menguatnya oligarki dalam percaturan politik nasional dan lokal. Mouffe juga menemukan persoalan yang sama di Amerika Latin dan Eropa Barat. Dalam analisis Mouffe, semakin menguatnya oligarki dan kapitalisme global terjadi karena orang tidak tidak lagi berpikir untuk menemukan kemungkinan alternatif terhadap tatanan hegemonik yang ada. Yang menyuburkan cara berpikir ini bagi Mouffe ialah para pengusung the third way (Ulrich Beck dan Anthony Giddens) dan demokrasi konsensus (Rawls dan Habermas). Bagi mereka demokrasi adalah mesin produksi konsensus. Siapa pun yang menolak konsensus dalam demokrasi dicap sebagai kuno dan musuh peradaban. Akibatnya, politik kehilangan dimensi agonistik dan konfliktualnya. Dimensi adversarial politik pun jadi lenyap seiring dengan lenyapnya batas-batas imajiner politik (kiri dan kanan). Perdebatan agonistik antara kawan dan lawan telah raib. Politik direduksi menjadi persoalan tekhnis semata; sesuatu yang menjadi domain para ahli. Sebagai alternatif terhadap tatanan hegemonik yang ada, Mouffe menganjurkan model demokrasi agonistik. Model ini memberikan penekanan pada prinsip radikalisasi diskursus. Model ini dibedakan dari demokrasi radikal. Demokrasi radikal ialah proyek politis. Sedangkan demokrasi agonistik adalah teori analitik. Salah satu proyek yang dibela dalam teori demokrasi agonistik adalah proyek demokrasi radikal yang memberikan penekanan pada radikalisasi implemetasi prinsip kebebasan dan kesetaraan. Namun, Mouffe mengambil pendirian ini bukan sebagai ahli teori, tetapi sebagai warga negara yang terlibat (proyek politis). Namun, ketika dia berbicara tentang demokrasi agonistik, dia berbicara sebagai ahli teori politik (teori analitik). Pandangan Mouffe tentang demokrasi agonistik telah menimbulkan banyak perdebatan serius di kalangan para pemikir politik di berbagai belahan dunia beberapa dekade terakhir. Kendatipun memiliki cukup banyak pendukung, Mouffe juga tidak luput dari kritik. Dalam analisis penulis, terdapat sejumlah kelemahan mendasar dalam teori Mouffe. Mouffe misalnya mengklaim pembebasan politik dari register moralitas, tetapi dalam konstruksi teoretisnya, Mouffe secara implisit mengajukan klaim-klaim moral dalam politik. Selain itu, Mouffe yang menolak demokrasi konsensus dan menggantik 
Institution Info

INSTITUT FILSAFAT DAN TEKNOLOGI KREATIF LEDALERO