Abstract :
Sejatinya manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, maka eksistensinya sebagai manusia tentu tidak terpisahkan dengan manusia yang lainnya. Manusia hidup bersosial dengan sesama manusia yang lainnya. Setiap manusia membutuhkan orang lain untuk hidup dan menjalani kehidupan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia pada dasarnya tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia hidup saling bergantungan satu sama lain dan membentuk kelompok-kelompok tertentu baik dalam kelompok penganut kecil maupun kelompok penganut dalam jumlah besar. Di dalam kelompok penganut tersebut tentu ada aturan-aturan, nilai-nilai yang diterapkan dan menjadi patokan sebagai bagian dari aturan hidup yang harus ditaati oleh semua penganutnya.
Dalam tradisi kebudayaan masyarakat Sikka-Krowe, pemahaman akan hidup bersama sebagai makhluk sosial dapat ditunjukan dalam hubungan perkawinan. Sebagaimana dalam kehidupan perkawinan, seorang laki-laki akan hidup bersama seorang perempuan yang adalah istrinya, begitupun sebaliknya. Tujuannya adalah untuk saling membutuhkan, saling melengkapi, saling melayani dengan segena jiwa raga dan secara lahir batin. Inilah realitas kodrati sebagai manusia yang sosial. Jadi, dalam hubungan perkawinan seorang suami akan hidup bergantungan dengan istrinya dan sebaliknya istri akan bergantung pada suaminya.
Di dalam perkawinan tersebut ada kaidah-kaidah, ketentuan-ketentuan, nilai-nilai yang menjadi bagian dari pedoman hidup. Kaidah-kaidah, aturan-aturan, katentuan, nilai-nilai perlu dihayati dan dijalankan oleh masyarakat penganut. Hal ini dimaksudkan agar kebebasan dan ketergantungan manusia dapat terkontrol oleh pedoman hidup yang berhubungan dengan kaidah-kaidah, aturan-aturan, ketentuan dan nilai-nilai dalam adat dan tradisi. Semuanya menjadi pedoman atau aturan hidup yang mewajibkan seseorang untuk taat.
Setiap adat budaya sekiranya memiliki kekhasan masing-masing dalam urusan perkawinan. Orang Sikka-Krowe memahami perkawinan dan kehidupan perkawinan merupakan bagian integral dari perjalanan hidup sebagai manusia. Untuk itu urusan perjodohan dan persiapan perkawinan akan selalu menjadi perhatian utama. Ada syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam mempersiapkan seseorang untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Setiap orang khususnya perempuan yang hendak menikah perlu melewati sebuah tahapan ritual adat. Tahapan ritual adat tersebut sebagai bagian dari syarat dan proses awal yang mengantar seorang perempuan melangkah ke tahapan perkawinan. Ritus adat tersebut adalah ritus Legen Ala.
Dalam Tradisi Sikka-Krowe, seorang perempuan yang hendak menikah akan didahulu dengan proses ritual penyematan Legen Ala. Ada tujuan yang memang memiliki syarat akan maknanya. Salah satu tujuannya adalah untuk mempersiapkan si perempuan secara lahir dan batin untuk melangkah ke tahapan perkawinan. Tujuan lainya adalah pendewasaan, karena tuntutan perkawinan adat adalah mengharuskan seorang perempuan yang dewasa. Namun, sebelum pelaksanaan ritus Legen Ala, tentu
2
ada tahapan-tahapan perkembangan seorang perempuan sebelum memasuki ritus Legen Ala. Tahapan perkembangan tersebut antara lain, Pereng Geke, Abon Nepe, Konde Teong, dan Legen Ala. Masing-masing memiliki maksud yang baik sebagai bagian dari proses pemantauan bagi kedewasaan perempuan menuju tahapan akhir dalam ritus Legen Ala.
Dalam ritus Legen Ala, ada tahap-tahap pelaksanaan yang perlu diperhatikan mulai dari persiapan awal, pelaksanaan ritus Legen Ala, sampai dengan persiapan menentukan waktu dan tempat pelaksanaan ritus tersebut. Biasanya tempat dan waktu pelaksanaannya akan terjadi di rumah orang tua si perempuan dan dilaksanakan pada Hari Minggu Biasa atau Hari Raya Pentakosta. Ada alasan teologis dari pemilihan waktu pelaksanaan ritus tersebut. Hal ini sangat erat hubungannya dengan masyarakat Sikka-Krowe yang adalah penganut Agama Katolik. Agama Katolik kemudian menyesuaikan diri secara inkulturatif terhadap momen-momen penting yang dihargai dalam tradisi asli. Misalnya, dengan adanya penanggalan-penanggalan liturgi Katolik, upacara atau ritus adat disesuaikan dan diberi makna sesuai dengan makna penanggalan liturgis
Singkatnya bahwa dalam ritus Legen Ala ini, ada manfaat-manfaat positif yang perlu diperhatikan dan dijaga sebagai bagian dari wadah yang mempersiapkan seorang perempuan menuju tahapan perkawinan. Ada nilai-nilai yang syarat makna dan menjadi bagian dari kekhasan kebudayaa Sikka-krowe.