Abstract :
Perkawinan Katolik pada dasarnya bersifat unitas dan indisolubilitas atau satu dan tak terceraikan. Sifat ini didasarkan pada landasan biblis dan teologis yang terus direfleksikan oleh Gereja sepanjang sejarah perkembangan iman, mulai dari Perjanjian Lama hingga pemenuhannya pada Perjanjian Baru. Kedua sifat perkawinan tersebut membuat perkawinan dalam ajaran Gereja Katolik bersifat suci dan luhur.
Kesucian dan keluhuran itu didasarkan pada hakikat Allah sendiri yang adalah suci dan luhur pula. Sudah sejak penciptaan, Allah sendirilah yang memeteraikan persatuan luhur pria dan wanita. Sejak manusia berada dalam kesendirian asali, (original solitude) Allah menghadirkan pendamping yang sepadan dengan manusia dan menempatkannya di sampingnya. Oleh karena itu, dari kesendirian asali itu, manusia kemudian bergerak menuju persatuan asalinya (original unity).
Persatuan itu didorong oleh suatu kerinduan yang mendalam bahwa hanya melalui persatuan itu manusia merasa lengkap: “sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging†(Kej. 2: 24). Dalam Perjanjian Baru hal ini disampaikan secara lebih konkret lagi oleh Yesus dalam konteks perkawinan, “...Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia†(Mat. 19: 6).
Pada titik ini kiranya jelas bahwa perkawinan bersifat suci dan luhur, sebab Allah sendirilah yang merancang dan menghendakinya. Kendati bersifat suci dan luhur, masih terdapat penyimpangan dalam hidup perkawinan. Orang-orang Katolik yang sudah mengikrarkan janji setia dengan pendampingnya melalui sakramen perkawinan seringkali mengingkari janji setia itu. Ada yang menuntut anulasi atas sakramen perkawinan yang sudah diterima karena alasan ditipu oleh pasangan misalnya, tetapi ada juga pasangan yang karena masalah dalam hidup berkeluarga memutuskan secara sepihak untuk bercerai. Perceraian semacam ini lahir dari egoisme dan keangkuhan manusia yang mengabaikan Allah yang telah mempersatukan hubungan perkawinan tersebut.
Gereja, sejak awal tidak mengakui perceraian. Gereja hanya mengakui anulasi. Sikap Gereja terhadap perceraian dan anulasi ini perlu ditelaah lebih lanjut agar jangan sampai orang beranggapan bahwa Gereja bersikap tidak prinsipiil terhadap sakramen perkawinan. Dengan mengetahui sikap Gereja terhadap anulasi dan perceraian ini umat beriman dipanggil untuk hidup dalam penghayatan yang mendalam tentang arti dan makna hidup perwakinan.
Oleh karena itu, tulisan ini berusaha membangkitkan kesadaran orang-orang Katolik akan realitas hidup perkawinan dewasa ini yang tengah terancam oleh berbagai godaan, sembari membangun kesadaran teoritis akan hakekat perkawinan itu sendiri. Dengan memahami hakikat perkawinan dan sikap Gereja terhadap perceraian dan anulasi, orang-orang Katolik, terutama keluarga dan pasangan-pasangan muda yang hendak berkeluarga dihantar untuk semakin menghargai hakikat perkawinan Kristiani serentak menghayati dengan sungguh sakralitas perkawinan sebagai simbol ikatan cinta antara Kristus dan Gereja-Nya.