Abstract :
Penelitian ini bertujuan untuk (1) merekonstruksi dialog agama sebagai upaya membendung fundamentalisme agama di Indonesia,dan (2) menawarkan ide komunikasi intersubyektif Jűrgen Habermas sebagai upaya membendung fundamentalisme agama di Indonesia.
Runtuhnya rezim Soeharto dari tampuk kekuasaan menjadi awal bagi bangsa Indonesia memasuki era baru yaitu era reformasi. Pada era reformasi ini, kanal-kanal demokrasi dibuka lebar-lebar. Akan tetapi, nampaknya sitem demokrasi yang dianut selama ini ialah – tidak berlebihan apabila penulis menyebutnya dengan –‘demokrasi kebablasan’. Hal ini tampak dari adanya tendensi untuk mentoleransi tindakan intoleran keagamaan yang selama ini dipertontonkan di ruang publik. Fenomena seperti ini menjadi paradoks di era reformasi yang menekankan demokratisasi. Bukannnya demokrasi dipahami sebagai momentum untuk memperjuangkan hak-hak sipil masyarakat demi tercapainya kehidupan yang sejahtera, justru yang terjadi malah sebaliknya. Demokrasi ‘dibajak’ sebagai instrumen kaum fundamentalis agama dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan partikularnya. Menyikapi persoalan fundamentalisme agama yang kerap kali terjadi di era reformasi, penulis menawarkan Teori Tindakan Komunikatif Jűrgen Habermas.
Teori Tindakan Komunikatif Habermas menekankan akan pentingnya komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Habermas, relasi sosial yang ideal ialah relasi yang dibangun atas dasar rasionalitas intersubyektif. Karena itu, Yang Lain mesti dilihat sebagai subyek komunikatif. Habernas memahami yang lain sebagai partner komunikasi yang mampu berargumen secara komunikatif di dalam ruang publik. Melalui komunikasi intersubyektif, setiap partisipan diberi kebebasan menyampaikan pendapat serentak memiliki kewajiban untuk menerima kritikan atau penolakan terhadap klaim-klaim komunikatif yang diungkapkannya. Oleh karena itu, komunikasi intersubyektif menekankan verifikasi atas kalim-klaim yang diungkapkan oleh setiap partisipan. Selain itu, komunikasi intersubyektif pada gilirannya diharapkan mampu mencapai konsensus yang telah disepakati bersama melalui diskusi yang alot.
Berangkat dari ide komunikatif Habermas ini, komunikasi intersubyektif merupakan tuntutan normatif dalam membendung fundamentalisme agama yang kerap kali terjadi di Indonesia. Melalui komunikasi intersubyektif, setiap agama dituntut untuk mendengar atau memahami nilai-nilai positif yang terdapat di dalam kelompok yang berbeda, baik itu kelompok agama lain maupun kelompok sekular. Hal ini diharapkan mampu mencapai konsensus bersama sebagai basis dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Selain itu, implikasi dari ide komunikasi intersubyektif Habermas dalam menyikapi gerakan fundamentalisme agama ialah adanya sikap keagamaan yang inklusif. Dalam arti bahwa setiap penganut agama mesti menyadari bahwa terdapat kebenaran atau nilai-nilai positif di dalam agama lain yang dapat ditimba sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.