Abstract :
Penelitian ini bertujuan untuk, (1) memperkenalkan masyarakat Aitoun dan mendalami proses pemberian ritus kaba serta menggali maknanya bagi masyarakat Aitoun. (2) untuk memahami, mendalami dan menemukan model antropologis dalam teologi kontekstual yang berakar dalam kebudayaan masyarakat Aitoun dan (3) merumuskan relevansi ritus kaba bagi penghayatan iman Kristen.
Penulis membuat penelitian di Desa Aitoun, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu. Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengunakan metode pendekatan kualitatif dengan metode observasi partisipasi dan wawancara. Untuk mendukung metode penilitian ini penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan. Asumsi dari penelitian ini adalah adanya kesamaan makna antara ritus kaba pada masyarakat Aitoun dengan ritus pemberian berkat dalam Gereja Katolik.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan dan studi kepustakaan dapat disimpulkan beberapa hal:
1. Ritus kaba mengungkapkan nilai-nilai Injili. Hal ini disadari karena ketiga jenis ritus kaba yang dilakukan merupakan pengakuan akan adanya Hot Esen sebagai Wujud Tertinggi masyarakat Aitoun. Mengingat ritus kaba adalah proses pemberian berkat dengan cara menumpangkan tangan, meniupkan tangan dan membuat tanda salib yang didahului dengan mendarasakan doa adat maka ritus ini disebut sebagai religiositas popular berhubungan dengan transenden. Di samping itu, nilai-nilai Injili yang ditemukan dalam ritus kaba adalah cinta kasih, solidaritas, persaudaraan, dan rekonsiliasi. Tujuan dari memberikan kaba adalah untuk mendapatkan keselamatan yang berasal dari Allah. Untuk itu, ritus kaba mestinya direfleksikan dalam terang teologis.
2. Model teologi kontekstual yang ditegaskan dalam ritus ini adalah model antropologis. Model ini mengindahkan adanya peran dari leluhur yang terjadi pada masa lampau yang terbingkai dalam Kitab Suci dan tradisi. Pemahaman ini dikuatkan dengan model antropologis yang mengatakan bahwa Allah hadir dalam kebudayaan dan ia disebut sebagai locus theologicus. Tugas manusia adalah masuk ke dalam kebudayaannya sendiri untuk menemukan Allah karena Ia menyatakan diri-Nya kepada semua orang dari segala suku dan bangsa atau kelompok etnis, dan manusia diarahkan untuk menemukan benih-benih Injili dan selanjutnya di terjermahkan dalam nilai injil. (GS. No. 58).
3. Ritus kaba sebagai peluang inkulturasi praktis dan dilihat sebagai sakramentali. Inkulturasi praksis yang dimaksudkan adalah usaha untuk mensejajarkan pelbagai elemen dari ritus kaba yang memiliki kesamaannya dengan pemberian berkat dan sakramen dalam Gereja Katolik seperti simbol dalam bentuk barang berupa rumah adat, altar persembahan, dan air. Sedangkan simbol berupa tindakan seperti membasuh tangan, penumpangan, pengurapan dan penandaan tanda salib bagi orang yang menerima kaba dan simbol dalam bentuk kata-kata yakni doa adat. Dengan demikian ritus kaba tidak disebut sebagai sakramen melainkan sebagai sakramentali karena melalui ritus ini masyarakat Aitoun memperoleh buah-buah sakramen seperti cinta kasih, persaudaraan, dan rekonsiliasi. (Bdk. KHK. No. 1166). Ritus ini termasuk dalam kategori benedictions invocative karena orang yang menerima kaba tidak mengalami mengalami perubahan status dan disebut sebagai orang kudus tetapi melalui ritus kaba seseorang memperoleh kurnia-kurnia roh. Demikian juga barang yang diberkati tidak sebut sebagai benda suci atau kudus.
4. Relevansi ritus kaba bagi penghayatan iman Kristen. Pertama, memperdalam iman akan Allah dalam kebudayaan. Dalam konteks kaba, masyarakat Aitoun diarahkan untuk mencari Allah dalam konteks. Misalnya dalam kaba heser, Allah yang di cari adalah Allah yang menghibur, menyelamatkan, dan Allah yang maha pengampun. Sedangkan dalam kaba bosok, Allah yang di cari adalah Ia yang melindungi, menuntun dan membimbing umat manusia dan dalam kaba bosok Allah yang di cari adalah Allah yang memberi kehidupan sebagai sumber pencipta langit dan bumi. Kedua, mempererat relasi sosial dengan sesama anggota masyarakat untuk memperolehkan nilai-nilai seperti cinta kasih, saling mendukung, saling menghargai, saling memaafkan untuk memupuk semangat persaudaraan dan kekeluargaan. Ketiga, ritus kaba sebagai bagian dari misi perutusan karena kaba adalah berkat yang bersumber dari Allah sendiri. Hal yang menjadi menegaskan misi perutusan adalah karena manusia menjadi pembawa berkat bagi yang lain. Hal ini tampak dalam proses pemberian kaba. Orientasi dalam ritus kaba adalah suatu bentuk perutusan agar masyarakat Aitoun dapat menghayati nilai-nilai kaba dalam keseharian hidupnya. Ungkapan yang mengatakan tentang perutusan adalah huruk bulas bare zal, siribisu hini loi-loi, tul gene liol (bawa berkat ini, bekerjalah baik-baik, bekerja sampai batas).