Abstract :
Tujuan penelitian ini adalah: Pertama, melihat hubungan pendidikan karakter berbasis komunitas dengan perkembangan kepribadian individu; kedua, melihat pola pendampingan di lembaga pendidikan Seminari Menengah St. Yohanes Berkhmans Todabelu-Mataloko yang berkaitan dengan pembentukan karakter untuk perkembangan kepribadian seminaris; ketiga, melihat signifikansi pendidikan karakter di Seminari Menengah St. Yohanes Berkhmans Todabelu-Mataloko terhadap perkembangan kepribadian seminaris; keempat, menawarkan suatu model pendidikan karakter berbasis komunitas dengan teori Pendekatam Kesanggupan-Kesanggupan Manusia dari filsuf Marta C. Nussbaum.
Dalam rangka mengumpulkan sejumlah data dan informasi terkait tujuan dari keseluruhan penelitian ini, penulis menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan penelitian kepustakaan dan pendekatan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dipakai penulis untuk mencari dan menemukan landasan-landasan teoretis yang membantu mengarahkan sekaligus memperkuat penelitian lapangan yang akan dibuat, dimulai dari proses penelitian sampai dengan hasil akhir yang dicapai berdasarkan temuan-temuan di lapangan. Pola pendekatan yang dipakai oleh penulis dalam penelitian kepustakaan adalah intepretasi teks. Pendekatan penelitian lapangan dilakukan dengan menggunakan gabungan dua pendekatan, yakni penelitian kualitatif melalui wawancara mendalam dan penelitian kuantitatif melalui penyebaran questioner. Penulis akan melakukan analisis kritis terhadap data-data yang diperoleh dari lapangan penelitian.
Penyelenggaraan pendidikan karakter memiliki kaitan erat dengan pengembangan kepribadian seseorang. Pengembangan kepribadian ditujukan untuk memberdayakan potensi-potensi yang berkaitan dengan aspek-aspek pertumbuhan dasariah manusia. Potensi-potensi yang dimaksudkan adalah kualitas-kualitas dalam diri dan unsur-unsur di luar diri individu (lingkungan sosial masyarakat) sebagai faktor yang juga turut memengaruhi perkembangan kepribadian. Pendidikan karakter membantu merangsang sekaligus menuntun arah pengembangan diri. Arah pengembangan diri yang dimaksud berkaitan dengan dorongan aktualisasi dan transendensi diri. Konsep diri yang hendak dibentuk melalui pendidikan karakter adalah pribadi yang secara sadar, bebas, dan penuh tanggung jawab mengaktualisasikan dan mentransendensikan dirinya sesuai dengan nilai-nilai karakter serentak terbuka terhadap situasi di luar dirinya (sesama dan alam lingkungan) dalam dialog yang saling membangun.
Dalam konteks pendidikan karakter di seminari, perkembangan kepribadian dilihat melalui pencapaian kedewasaan manusiawi dan kedewasaan kristiani. Kedewasaan manusiawi sangat menekankan keutuhan unsur jiwa dan badan. Hal ini tampak dari perkembangan aspek fisik, psikis, emosional, dan intelektual. Kedewasaan Kristiani tampak dalam kehidupan rohani, kehidupan panggilan, kehidupan menggereja, dan kehidupan bermasyarakat. Kematangan kehidupan rohani tampak dalam hidup doa yang teratur serta kapasitas untuk mengembangkan kebiasaan refleksi, retrospeksi, introspeksi, dan evaluasi diri. Berdasarkan data-data penelitian yang diolah, pihak seminari telah berupaya sedemikian rupa dalam menyelenggarakan pendidikan karakter untuk perkembangan kepribadian seminaris. Aspek-aspek perkembangan diri yang termuat dalam lima pilar pendidikan karakter diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan yang mendukung pengembangan kedewasaan manusiawi dan kedewasaan kristiani. Komunitas-komunitas pendidikan memberikan sumbangan tertentu untuk pelaksanaan proses pendidikan karakter seminaris sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Analisis yang dibuat terhadap terhadap data-data penelitian memperlihatkan kelebihan dan kekurangan yang dialami oleh lembaga seminari dalam menyelenggarakan pendidikan karakter.
Berdasarkan analisis dan intepretasi yang dibuat, Pendidikan Karakter Berbasis Komunitas di Seminari Mataloko dan Teori Pendekatan Kesanggupan-Kesanggupan Manusia menurut Marta C. Nussbaum memiliki tujuan yang sama, yakni membantu mengembangkan kemampuan dasariah yang dimiliki oleh manusia agar ia mampu berpartisipasi secara sehat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kesepuluh kategori kapabilitas yang dimiliki oleh manusia sebagaimana disebutkan oleh Nussbaum dapat dilihat sebagai unsur-unsur manusiawi yang dimiliki oleh setiap orang dan karena itu harus dipenuhi. Pendidikan, dalam hal ini pendidikan karakter, merupakan sarana yang juga membantu mengembangkan kapasitas-kapasitas dasariah yang dimiliki oleh manusia. Hal ini hanya mungkin terjadi sejauh komunitas atau lembaga memberikan ruang bagi terselenggaranya suatu model pendidikan karakter yang turut membantu individu mengembangkan kecakapan yang ia miliki agar mampu terlibat dalam kehidupan bersama.