DETAIL DOCUMENT
DISIPLIN TUBUH NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS I SURABAYA
Total View This Week0
Institusion
Universitas Negeri Surabaya
Author
CHURNIA DWI VELLIENDA (STUDENT ID : 16040564070)
(LECTURER ID : 0021036403)
Subject
Ilmu Sosial dan Hukum 
Datestamp
2022-12-23 14:42:14 
Abstract :
Selamaini masyarakat menganggap bahwa Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat orang-orangbersalah, berdosa dan terpidana. Namun sesuai Undang-Undang Pemasyarakatanbahwa penjara merupakan tempat dimana pembinaan dilaksanakan oleh narapidana.Dalam sistem pemasyarakatan telah diatur bahwa tujuan diadakannya lembagapemasyarakatan untuk membentuk narapidana agar menjadi masyarakat yang memilikisikap lebih baik. Pada abad ke-17 hingga ke-18, Foucault fokus membandingkanfenomena menghilangnya hukuman tanpa menyentuh tubuh yang dipertontonkan.Perubahan tersebut ditandai dengan melakukan strategi menghukum tepat sasarantanpa menyentuh tubuh manusia. Pemenjaraan sebagai upaya pendisiplinan tubuh diIndonesia sesungguhnya masih menyimpan sejumlah problematika. Penelitian inimengkaji pola-pola pendisiplinan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas ISurabaya dengan menggunakan metode kualitatif dengan perspektif Foucaultdianserta menggunakan konsep Foucault diantaranya disiplin tubuh, governmentality,biopower dan hypomnema yang termasuk bagian dari konseppanoptikon. Data ini dikumpulkan melalui observasi dan wawancara mendalam sertadengan menggunakan teknik analisis arkeologi dan geneologi. Adapun tujuanpenelitian ini adalah untuk mengidentifikasi diskursus narapidana mengenaisistem pengawasan, governmentality, biopower, dan pengetahuan tersembunyi (hypomnema)yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Surabaya.Hasilpenelitian ini menunjukkan bahwa sistem pengawasan sudah mampu mendisiplinkandengan wacana CCTV yang ada di kalangan narapidana yaitu biasa aja dantakut. Ungkapan biasa aja tidak merasa diintimidasi atau ditekan melainkansesuai wacana yang ditemukan bahwa ia tetap menjaga tingkah lakunya. Menjagaperilaku menandakan bahwa CCTV telah berhasil menumbuhkan perasaan diawasikepada narapidana. Kemudian wacana yang terbangun dari narapidana bahwa petugasatau sipir adalah bersahabat. Namun terminologi tersebut menghasilkanpelanggaran karena adanya negoisasi yang terjadi antara petugas dan narapidana.Sedangkan perasaan diawasi juga muncul dari narapidana melihat bahwa arsitekturbangunan yang ada di Lapas Kelas I Surabaya sudah cukup efektif. Wacana sudahefektif menandakan bahwa narapidana telah terpanotikon. Adanya menara (pospenjagaan atas) yang berjumlah 9 telah membuat napi merasa diawasi meskipunkeberadaan menara tidak diketahui oleh para narapidana. Terakhir, wacana yangterbentuk oleh narapidana kepada tamping adalah takut, biasa aja, danbersahabat/merangkul telah berhasil membuat beberapa narapidana merasa bahwatamping memiliki tugas menjembatani antara petugas dan narapidana. Sedangkankonsep governmentality memiliki dua elemen yakni SDP dan regulasi (tata tertibtertulis). Keduanya dijalankan dalam sistem panoptisme yang mengandalkan wacanadalam pelaksanaannya. Namun regulasi gagal menciptakan kondisi panoptik bagilingkungan lapas. Pembinaan adalah satu cara menjalankan biopower. Reformasibirokrasi lapas terdiri dari aspek perbaikan (restoration) diwujudkandalam pembinaan kesadaran beragama, pembinaan kesadaran berbangsa danbernegara, pembinaan kemampuan intelektual, lalu aspek penyediaan sumber-sumberdaya (provision) diwujudkan dalam bentuk pembinaan kemandirian, danaspek pencegahan (prevention) merupakan aspek dimana pendisiplinandilakukan secara masif. Aspek iniberupaya mencegah terjadinya pengulangan tindak kejahatan. Kata Kunci: Disiplin Tubuh,Narapidana, Lembaga Pemasyarakatan, Panoptikon 

Institution Info

Universitas Negeri Surabaya