DETAIL DOCUMENT
Ahli Waris Sepertalian Darah Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqih Mazhab
Total View This Week0
Institusion
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Author
Al Yasa Abubakar , 84023
Subject
Ilmu Agama Islam 
Datestamp
2014-11-18 07:01:32 
Abstract :
Sekurang-kurangnya ada tiga prinsip kewarisan dalam fiqih Sunni yaitu:a. Ahli waris perempuan (Zawi-al furu-dh) tidak dapat menutup ahli waris laki-laki yang lebih jauh. b. Hubungan kewarisan melalui garis laki-laki lebih diutamakan dari garis perempuan c.Tidak mengenal ahli waris pengganti, semuanya mewaris karena dirinya sendiri. Sedang di dalam fiqih Ja’fariah ditemukan prinsip-prinsip: a. Ahli waris perempuan, sama dengan laki-laki, menutup ahli waris yang lebih jauh. b. Hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan. c. Ahli waris pengganti akan mewaris apabila derajat diatasnya sudah meninggal seluruhnya. Hazairin (1906-1975), Guru Besar Hukum Islam di Universitas Indonesia, mengemukakan penalaran alternatif yang berintikan: a. Ahli waris perempuan sama dengan laki-laki hanya menutup ahli waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. b. Hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan. c. Ahli waris pengganti selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (utama). Menghadapi perbedaan diatas, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan: bagaimana pola penalaran yang ditempuh Hazairin dalam kerangka ushul fiqih dan dimana letak perbedaan penalaran beliau dengan penalaran ulama awal (fiqih mazhab). Pertanyaan ini dilengkapkan lagi dengan: bagaimana ulama tafsir dan Hadis memahami nash yang digunakan Hazairin dan bagaimana pula ulama fiqih menyelesaikan kasus yang dibahas Hazairin. Untuk itu pertma-tama diteliti secara komparatif kaidah-kaidah ushul fiqih dalam mazhab Hanafiah, Malikiah, Syafi’ah, Hanabilah dan Zhahiriah.Penulis memisahkan secara jelas antara dalil dan penalaran. Yang menjadi dalil hanyalah al Qur’an dan sunnah (hadis). Sedang penalaran dikategorikan menjadi tiga pola yaitu: pola baya-ni- (kajian semantic), pola ta’li-li- (penentuan ‘illat) dan pola istishla-hi (pertimbangan kemaslahatan berdasar nash umum). Hasil kegiatan ini digunakan sebagai alat analisa utama dalam langkah penelitian berikutnya. Pendapat Hazairin dan mazhab-mashab fiqih yaitu Zaidiah dan ja’fariah setelah lima yang disebut sebelumnya, diteliti secara reflektif dan komparatif. Sedang pergeseran pemahaman ulama terhadap al Qur;an dan hadis ditelusuri secara historis. Dari kegiatan diatas ditemukan, bahwa Hazairin dan ulama awal cenderung hanya menggunakan pola baya-ni . Pola ta’ li- li- dimanfaatkan secara terbatas, sekedar mendukung penalaran sebelumnya. Sedang pola istishla-hi- boleh dikatakan tidak digunakan. Adapun pendangan terhadap dalil, penalaran dan pendapat fiqih, dapat dinyatakan sebagai berikut: I.Pendangan terhadap Dalil 1. Hazairin menafsirkan ayat-ayat tentang kewarisan sebagai satu kesatuan yang saling menerangkan. Dengan demikian beliau memberi alternatif terhadap kaidah a-m-kha’sh (“diterangkan menerangkan”) yang ada dalam ushul fiqih. 2.Hazairin berupaya menciptakan sebuah system yang bulat, dan mengeritik kebiasaan yang menerapkan nash langsung kepada kasus, walaupun mengubah semua yang bertentangan dari adat setempat. Beliau menyebutnya sebagai kegiatan tambal sulam. 3.Konsep-konsep dalam Al Qur’an beliau jelaskan berdasar temuan “ilmu modern”, khususnya antropologi, untuk lebih menguniversalkannya. Didalam ushul fiqih, penafsiran terhadap konsep (al asma-) yang ada dalam al Qur’an dilakukan berdasar al haml (keyakinan, begitulah penetapan atau keinginan Allah swt.) ; al isti’ma-l (adat masyarakat Arab zaman Nabi saw) atau al wadh’ (arti semantic). Beliau menganggap kegiatannya bearada pada al haml, sedang kegiatan ulama Sunni bahkan Sahabat berada pada al isti’ma-l. Pernyataan tentang ulama sunni ada kesejalannya dengan hasil penelitian ini; sedang hasil penafsiran Hazairin tertampung ke dalam al wadh’. 4. Mengenai hadis, Hazairin menganggapnya sebagai penjelas (suplemen) yang tidak bisa dipisahkan dari al Qur’an; karena itu memerlukan beberapa syarat: a. Hadis tersebut tidak bertentangan dengan hasil penafsiran melalui point (1) diatas. Sedang ulama awal, cenderung menganggap sesuatu Hadis berhubungan langsung dengan sesuatu ayat dan karena itu melepaskannya dari kaitan dengan ayat-ayat lain. b. Hadis tersebut tidak bersifat sementara (diberikan Rasul dalam ketiadaan wahyu) dan bukan merupakan kasus khusus. Pendapat ini sejalan dengan anutan ulama awal. Hazairin tidak membicarakan sanad yang oleh ulama awal sangat dihargai. II.Penalaran dan pendapat Fiqih 1.sistem kekeluargaan dan karena itu kewarisan yang bersesuaian dengan al Qur’an, menurut Hazairin adalah system bilateral. Namun perlu kepada beberapa penyesuaian, sehingga beliau sebut system bilateral yang sui generis. Pendapat seperti ini tidak ditemukan dikalangan ulama awal; tetapi kaidah-kaidah dalam ushul fiqih dan tata bahasa Bahasa Arab ada yang bisa digunakan untuk mencapai kesimpulan yang sama. a. Keturunan dan leluhur dari garis laki-laki dan perempuan, beliau samakan kedudukannya. Pe 
Institution Info

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga