Abstract :
Perkawinan adalah sebuah jalan keluar yang disediakan oleh Allah sebagai al-Shari‘ untuk memenuhi kebutuhan penyaluran naluri biologis dan kasih sayang manusia. Karena itu perkawinan menjadi jalan untuk menjamin keberlangsungan manusia dengan berketurunan, dan termasuk salah satu dari lima perkara pokok yang harus dijaga (al-d}aruriyyat al-khams).
Di kecamatan Sidoarjo dijumpai kasus wanita yang menolak perwalian wali nikahnya karena merasa ditelantarkan. Menurut jumhur fukaha, wali nikah merupakan salah satu rukun nikah yang harus dipenuhi. Peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia juga mengharuskan keberadaan wali. Sehingga wanita yang menolak perwalian wali nikahnya dan terjadi konflik antara mereka yang tidak dapat didamaikan akan terancam tidak dapat melangsungkan pernikahan di Indonesia.
Penelitian ini membahas status hukum wanita yang menolak perwalian wali nikahnya dan analisa status hukum penyelesaian masalah ini menurut tinjuan mas}lah}at al-Shat}ibi. Walaupun jumhur fukaha menyatakan bahwa salah syarat wali nikah adalah ‘adil, tetapi terma fasiq sebagai lawan adil tidak mempunyai parameter terukur. Wali nikah yang menelantarkan perempuan tanggungannya dapat dikategorikan wali yang fasik. Sedangkan wanita yang menolak perwalian wali nikahnya dapat berpotensi durhaka kepada orang tua dan tidak dapat melaksanakan kewajiban birr al-walidayn.
Kaedah fiqh menegaskan jika ada dua kerusakan, maka ditempuh kerusakan yang lebih kecil untuk mencapai mas}lah}at. Seorang wanita tetap dapat melaksanakan birr al-walidayn walau dia menolak perwalian wali nikah. Berdasarkan pertimbangan mas}lah}at, yaitu untuk menjamin keberlangsungan keturunan, maka perwaliannya dapat dipindahkan kepada wali yang lebih jauh, atau kepada wali hakim jika ia tidak mempunyai wali