Abstract :
Abstrak
Tindak pidana korupsi pada intinya adalah perbuatan yang dapat merugikan
keuangan Negara maupun perekonomian Negara. Sehingga para koruptor dapat
dikenakan sanksi penjara atau denda, atau bahkan dilakukan penyitaan terhadap
harta kekayaanya. Penyitaan terhadap barang bukti harta kekayaan terdakwa
tindak pidana korupsi merupakan tindakan penyidik untuk mengambil alih dan
atau menyimpan dibawah penguasaanya sebelum disita oleh negara.
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu pelaksanaan penyitaan barang bukti harta
kekayaan terdakwa tindak pidana korupsi oleh penyidik kejaksaan dan faktor
penghambat dalam penyitaan barang bukti harta kekayaan terdakwa tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh penyidik kejaksaan.
Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dan studi
lapangan, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan metode editing,
sistematisasi, klasifikasi.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa Pelaksanaan penyitaan
barang bukti harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi oleh penyidik kejaksaan
yaitu terlebih dahulu mendapat Surat izin dari Ketua Pengadilan negeri, kecuali
dalam keadaan perlu dan sangat mendesak, harus segera bertindak dan
berkewajiban segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri guna
mempeloreh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 KUHAP.
Kemudian penyidik membuat Berita Acara Penyitaan, dibacakan, diberi tanggal,
ditandatangani Penyidik, orang yang bersangkutan/keluarga/kepala desa
lingkungan dan 2 (dua) orang saksi dan turunan berita acara disampaikan kepada
atasan Penyidik, keluarga yang barangnya disita dan kepala desa. Pada waktu
proses pembuktian terbalik pada sidang pengadilan, apabila terdakwa gagal
membuktikan maka harta benda tersebut dianggap diperoleh dari korupsi dan
hakim berwenang memutuskan (sebagian atau seluruh) harta tersebut dirampas
Muhammad Taufik Abdaha
untuk negara. Sedangkan faktor penghambat dalam penyitaan barang bukti harta
kekayaan terdakwa tindak pidana korupsi, antara lain faktor hukumnya sendiri
atau peraturan itu sendiri, yaitu tidak diikutinya asas-asas berlakunya UndangUndang dan belum adanya peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk
menerapkan Undang-Undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam
penafsiran serta penerapanya; Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang
membentuk maupun menerapkan hukum, contohnya keterbatasan kemampuan
untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi,
tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi, kegairahan yang sangat terbatas untuk
memikirkan masa depan, sehingga sulit untuk membuat suatu proyeksi; Faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, contohnya dapat dianut
jalan pikiran sebagai berikut: yang tidak ada, diadakan; yang rusak atau salah,
diperbaiki atau dibetulkan; yang kurang, ditambah; serta yang macet, dilancarkan
serta; Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut
diterapkan, contohnya masyarakat tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya
hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya; tidak berdaya untuk
memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial
atau politik, dan lain sebagainya. Agar membantu proses penyitaan harta
kekayaan pelaku tindak pidana korupsi oleh penyidik kejaksaan, hendaknya
Pemerintah Indonesia melakukan pembaruan manajemen umum kejaksaan secara
menyeluruh, mulai dari sistem rekrutmen, sistem pendidikan dan pelatihan serta
sistem pembinaan karier.