Abstract :
Abstrak
Tindak pidana penganiayaan terhadap anak bukanlah hal yang baru di masyarakat.
Anak-anak yang menjadi korban menjadi sangat trauma atas pengalaman
penganiayaan terhadapnya. Tindak pidana penganiayaan terhadap anak juga
pernah terjadi di Provinsi Lampung, hal itu dapat dilihat dari Putusan Perkara
Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK. Dalam
kasus tersebut, terdakwa Fransiscus Afrizal dinyatakan telah dengan sengaja
melakukan penganiayaan terhadap korban Wijaya Bin Hanawi yang masih
berumur 13 tahun. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam Pidana
dalam Pasal 80 Ayat (1) UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo
Pasal 351 Ayat (1) KUHP. Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 5
(lima) bulan pidana penjara dengan masa penahanan yang telah dijalani dikurangi
dengan pidana yang dijatuhkan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah
yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap
pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anak (Studi Perkara Nomor
1727/Pid.B/2009/PN.TK)? dan mengapa hakim tidak menjatuhkan sanksi pidana
maksimum terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anak (Studi
Perkara Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK)?
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif
dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian
ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan
wawancara terhadap Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim
Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dan Dosen bagian pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang
diperoleh kemudian diolah dengan cara memeriksa dan mengkoreksi data, yang
kemudian dianalisis secara analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan
yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak
pidana penganiayaan terhadap anak (Studi Perkara Nomor
1727/Pid.B/2009/PN.TK) adalah dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, hal-hal yang
meringankan dan memberatkan, majelis hakim cenderung tidak menjatuhkan
pidana maksimum, harapan pelaku tidak mengulangi perbuatannya, motif tindak
pidana, sikap pelaku setelah melakukan tindak pidana penganiayaan, akibat yang
ditimbulkan. Hakim juga sepenuhnya memperhatikan ketentuan Pasal 28 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 182 Ayat (6) KUHAP. Alasan hakim
tidak menjatuhkan sanksi pidana maksimum terhadap pelaku tindak pidana
penganiayaan terhadap anak (Studi Perkara Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK)
yakni bahwa dalam menjatuhkan putusan maka hakim akan melihat manakah
yang paling dominan, apakah hal-hal yang memberatkan atau hal-hal yang
meringankan. Jika hal-hal yang memberatkan lebih dominan, maka pidana yang
dijatuhkan menjadi maksimum, jika hal-hal yang meringankan lebih dominan,
maka pidana yang dijatuhkan hakim akan ringan. Hakim berpegang pada
keyakinannya, dengan pertimbangan jika pidana yang ringan akan lebih efektif,
dimana pelaku benar-benar insyaf dan tidak mengulangi perbuatannya, maka
hakim dapat menjatuhkan pidana yang ringan.
Adapun saran yang diberikan penulis yaitu hakim harus lebih memaksimalkan
lagi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, karena pidana ini sudah terlalu
ringan. Perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian psikis bagi korban. Hakim
harus mempertimbangkan akibat perbuatan yang ditimbulkan oleh terdakwa
terhadap korban dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana
penganiayaan terhadap anak. Jadi dalam mencapai tujuan keadilan maka hakim
tidak hanya mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan
terdakwa, namun juga akibat dari perbuatan terdakwa.