Abstract :
(ABSTRAKSI) Penelitian ini berusaha menjawab tiga pertanyaan mendasar: 1). Bagaimana
konsumen perempuan Makassar mengekspresikan waktu senggangnya? 2). Mengapa
mal menjadi pilihan konsumen perempuan Makassar untuk menghabiskan waktu
senggangnya? Dan apa yang mendorong praktik ini? 3). Mengapa konsumsi waktu
senggang di mall dapat mengekspresikan âkeberadaanâ konsumen perempuan
Makassar? Pertanyaan penelitian adalah refleksi dari realitas praktik waktu senggang
yang dilakukan oleh perempuan di mal.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Data dalam penelitian ini
akan ditelusuri melalui observasi, wawancara dan studi teks yang berkaitan untuk
membantu menjelaskan objek penelitian yang dimaksud. Karena fenomena konsumsi
waktu senggang yang diteliti ini erat berkaitan dengan fenomena masyarakat
konsumsi maka penelitian ini menggunakan kerangka teoritik masyarakat konsumsi
sesuai degan kosep Jean Paul Baudrilard, teori âkelas waktu senggangâ Torstein
Veblen dan konsep habitus dari Pierre Buordieu. Kerangka teori ini akan menjadi
pisau analisis untuk melihat fenomena penelitian yang dimaksud. Data yang
ditemukan dalam penelitian ini akan dianalisis lebih lanjut dengan metode reduksi
data, yakni mengambil data yang berkaitan dengan penelitian, kemudian mendisplai
dan terakhir menyimpulkan data hasil penelitian.
Dalam penelusuran penelitian ini ditemukan data bahwa praktek waktu
senggang konsumen perempuan Makassar berubah menjadi konsumtif sejak adanya
mal. Representasi dari praktek konsumtif ini ditemukan seperti makan, belanja, dan
window shopping. Praktek waktu senggang konsumtif ini didorong oleh aspek
terbatasnya ruang public yang masih tersedia untuk berwaktu senggang di Makassar
dan didorong juga oleh keinginan mencari manfaat di mal. Pendorong lainnyaadalah
rasa keterpesonaan oleh kebersihan, murah dan aspek konsumtif lainnya. Proses
konsumsi waktu senggang ini dipahami sebagai bagian dari proses komodifikasi
waktu senggang. Karena itu, konsumen perempuan Makassar, dalam penelitian ini
dianggap menjadi korban dari praktik budaya konsumen yang menjadikan waktu
senggang sebagai instrument untuk proses akumulasi capital. (ABSTRACT) -