Abstract :
Kekerasan seksual adalah tindakan yang mempermalukan, melecehkan tubuh
atau fungsi reproduksi seseorang karena ketidaksetaraan gender. Mayoritas korban
kekerasan seksual adalah perempuan dan anak. Korban kekerasan seksual
perempuan dan anak mengalami penderitaan luar biasa baik secara fisik maupun
psikis sehingga mereka wajib dipenuhi hak pemulihannya Tujuan penelitian ini
adalah untuk menjelaskan bentuk-bentuk, kendala, dan upaya yang dilakukan oleh
UPTD PPA Kota Semarang dalam pemenuhan hak pemulihan korban kekerasan
seksual perempuan dan anak. Tipe penelitian ini adalah penelitian yuridis sosiologis
dengan perolehan data dilakukan melalui wawancara dengan narasumber dan bahan
kepustakaan. Spesifikasi penelitian yang digunakan bersifat analisis deskriptif dan
metode analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Berdasarkan
hasil penelitian diketahui bahwa 1) bentuk-bentuk hak pemulihan yang diberikan
oleh UPTD PPA Kota Semarang antara lain memfasilitasi pemberian layanan
medis, layanan pemulihan mental atau psikologis, layanan penguatan psikososial,
layanan rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, dan reintegrasi sosial,
memfasilitasi kebutuhan pemberdayaan ekonomi, dan mengidentifikasi kebutuhan
penampungan sementara untuk korban serta keluarga korban. 2) Kendala-kendala
dalam pemenuhan hak pemulihan korban kekerasan seksual menurut teori
efektivitas hukum yaitu kendala faktor sarana atau fasilitas dan faktor budaya
hukum. Kendala dalam faktor sarana atau fasilitas antara lain terbatasnya jumlah
tenaga psikolog, masih terbatasnya sarana dan prasarana, dan minimnya dana dari
Pemerintah Kota. Sedangkan kendala dalam budaya hukum adalah sifat korban
yang tertutup, orang tua anak korban menjadi overprotektif, dan masyarakat yang
menyudutkan pihak korban. 3) Upaya yang dilakukan oleh UPTD PPA Kota
Semarang dalam mengatasi kendala yang terjadi antara lain bekerja sama dengan
mitra di berbagai sektor, melakukan perekrutan tenaga psikolog, mengoptimalkan
fungsi sarana dan prasarana yang ada, merangkul korban agar lebih terbuka,
memberikan konseling kepada orang tua terkait pengasuhan, dan melakukan
edukasi atau sosialiasi ke lingkungan sekitar korban.