DETAIL DOCUMENT
DARI DASA TITAH KE SAPTA TITAH: DIALEKTIKA HUKUM-HUKUM MUSA DI PERJANJIAN LAMA DALAM AL-QUR’AN
Total View This Week0
Institusion
Universitas Kristen Duta Wacana
Author
Ahmad Shalahuddin Mansur
Subject
BP Islam. Bahaism. Theosophy, etc 
Datestamp
2024-05-08 03:52:36 
Abstract :
Dalam tradisi agama-agama Abraham (Abrahamic Religions), persamaan dan perbedaan adalah hal yang jamak ditemui. Salah satu persamaan yang dapat dilihat ialah narasi tentang Musa, tak terkecuali adalah hukum-hukum Musa di dalamnya. Selain itu, dalam basis kitab suci antara Alkitab dan Al-Qur?an, secara spesifik antara Perjanjian Lama (PL) dan Al-Qur?an, kisah Musa begitu mudah ditemukan. Uniknya, hukum-hukum Musa dalam PL ditemukan juga dalam Al-Qur?an. Penelitian ini menelusuri hukum-hukum Musa yang sebelumnya berbunyi dalam PL di Keluaran 20 dan Ulangan 5 dan ditemukan berbunyi ulang dalam Al-Qur?an pada QS. Al-An?am dan QS. Al-?Isra. Metode kepustakaan yang digunakan dalam penelitian ini digunakan untuk menelusuri literatur dari kedua teks di dua kitab suci yang berisi elemen-elemen Dasa Titah di PL dan membacanya dalam konteks Al-Qur?an. Dengan teropong kritik ideologi Paul Ricoeur bernama hermeneutic of suspicion membongkar ideologi apa yang terkandung dalam Al-Qur?an, secara khusus di balik penafsiran teks yang memuat elemen-elemen hukum Musa pada QS. Al-An?am [6]: 151-153 dan QS. Al-?Isra [17]: 22-37. Kemudian menelusuri setting historis di periode Madinah Nabi Muhammad SAW ketika berjumpa dan berinteraksi dengan komunitas Yahudi pada waktu itu?di zaman antik akhir (late antiquity). Dalam membaca para penafsir (mufassir) Al-Qur?an, Penulis menemukan ideologi penafsir yang mewarnai corak penafsiran Al-Qur?an dalam membaca hukum-hukum Musa. Pertama, tendensius-kritik-reformis dengan memposisikan Islam sebagai jalan terbaik dan menjadi antitesa dari agama-agama sebelumnya. Kedua, positif-apresiatif-afirmatif dengan memposisikan Islam sebagai keberlanjutan dari agama-agama sebelumnya dan melihat nilai-nilai yang termaktub tersebut sebagai ajaran universal (al-syara`i? al-?ammah). Ketiga, netral, yakni menguraikan ayat tersebut tanpa mengaitkan Islam dengan agama lainnya. Dalam hal ini, ayat-ayat tersebut hanya dipahami sebagai panduan moral-etik umat Islam sebagai kewajiban atau sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Selanjutnya, hukum-hukum Musa akhirnya punya dinamika yang berbeda dari awalnya di PL dan berbunyi ulang dalam Al-Qur?an, meski dengan nuansa yang sedikit berbeda, tidak berjumlah sepuluh, namun berisi tujuh perintah atau hukum?yang disebut ?Sapta Titah?. Dialektika Sang Nabi dengan konteks masyarakatnya di Madinah membuat nuansa ?Dekalog Al-Qur?an??Dasa Titah menjadi ?Sapta Titah?. Perbedaan ini di satu sisi menjadi potret dinamika ketegangan yang dialami Sang Nabi pada masanya. Konflik yang muncul pada waktu itu akhirnya mewarnai bagaimana agama terakhir dalam tradisi agama Ibrahim ini mengambil distingsi dengan agama sebelumnya. Sapta Titah yang terdapat dalam Al-Qur?an tidak membatalkan Dasa Titah dalam PL, sekaligus Islam melakukan afirmasi dan juga reformasi namun tidak berniat untuk mengganti atau mengabrogasi agama-agama sebelumnya. Kesinambungan visi etis dan humanis Dasa Titah dan Sapta Titah menjadi pengingat orang-orang beragama di era pasca modern ini untuk memulihkan kemanusiaan yang rusak di tengah banalitas kejahatan. Kata kunci: Hukum Musa; Dasa Titah; Perjanjian Lama; Sapta Titah; Al-Qur'an. 
Institution Info

Universitas Kristen Duta Wacana