Abstract :
Merek merupakan salah satu kekayaan intelektual yang sangat penting
keberadaaannya sekaligus perlindungannya karena memiliki nilai komersial dan
keunikan tersendiri. Pemilik merek akan memperoleh perlindungan hukum secara sah
apabila telah mendaftarkan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dan sudah
disahkan dengan bukti sertifikat merek. Namun, tetap ada celah kekosongan hukum
dalam praktiknya di Indonesia, dimana masih terdapat banyak pelanggaran hak atas
merek dengan bentuk yang berbeda-beda. Salah satu contoh ialah permasalahan dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor 27 K/Pdt.Sus/2011 dimana terdapat kasus dilusi
merek namun Indonesia belum mengakomodir aturannya secara khusus dalam bentuk
apapun, sehingga MA hanya berpendapat sesuai UU Merek yang ada, tetapi pada
putusannya terjadi perbedaan penerapan pasal dari yang seharusnya. Tujuan penelitian
ini adalah, pertama, menganalisis dari segi sah atau tidaknya pendaftaran merek yang
dilakukan oleh pihak yang diduga melakukan dilusi merek. Kedua, menganalisis
kesesuaian Putusan Mahkamah Agung Nomor 27 K/Pdt.Sus/2011 dengan hukum merek
yang berlaku di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan adalah melakukan yuridis normatif dengan
merujuk pada bahan-bahan hukum tertulis dengan mengkaji Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis, TRIPs Agreements, pendapat para ahli, Putusan MA Nomor 384
K/Pdt.Sus/2012, dan Putusan MA Nomor 27K/Pdt.Sus/2011.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pertama, tindakan pendaftaran oleh
pihak Pemohon Kasasi (Budi) tidak sesuai dengan Pasal Pasal 4, 5 dan 6 UU Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek yang saat ini telah diubah menjadi Pasal 20 dan 21 UU
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Kedua, tidak sesuainya
Putusan MA Nomor 27K/Pdt. Sus/2011 dengan hukum merek yang berlaku serta terjadi
kesalahan penerapan pasal dari yang seharusnya yakni Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (2) UU
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang saat ini telah diubah menjadi Pasal 21 UU
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.