Abstract :
Skripsi ini membahas secara analisis deskriptif tentang bagaimana Nazhir dalam
persfektif fikih dan perundang-undangan. Dari permasalahan pokok ini menghasilkan
beberapa sub masalah yakni: 1.) Bagaimana kedudukan Nazhir dalam hukum fikih? 2.)
Bagaimana kedudukan Nazhir dalam Undang-Undang?. Dalam menjawab permasalahan
tersebut, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan teologis-normatif, pendekatan
yuridis-normatif dan berparadigma deskriptif kualitatif, yang melihat objek kajian dari sudut
pandang fikih dan Undang-Undang. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library
research), yaitu penulis menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya dengan cara
menelaah dan meneliti terhadap sumber-sumber kepustakaan baik al-Qur?an, as-Sunnah,
buku-buku fikih atau karya-karya ilmiah dan Undang-Undang yang berkaitan dengan
masalah nazhir khusunya terhadap fikih dan Undang-Undang.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kedudukan nazhir dalam hukum fikih dan
untuk mengetahui kedudukan nazhir dalam Undang-Undang, adapun kegunaannya ada dua
yaitu 1.).kegunaan ilmiah yakni hasil penelitian diharapkan dapat memberi sumbangsi dan
kontribusi terhadap perkembangan pemahaman mengenai nazhir dalam persfektif fikih dan
Perundang-undangan. 2.) Kegunaan praktis yakni diharapkan dapat memberi sumbangsi
pemikiran dan masukan terhadap individu mengenai nazhir dalam persfektif fikih dan
Perundang-undangan.
Setelah melakukan beberapa kajian terhadap nazhir dalam persfektif fikih dan
perundang-undangan maka dapat disimpulkan bahwa: nazhir dalam hukum fikih tidak
dijadikan sebagai salah satu rukun wakaf. Para ulama berpendapat bahwa yang paling
berhak menentukan nazhir adalah wakif. Adapun jika wakif tidak menunjuk nazhir
disaat ia melakukan ikrar wakaf, pada umumnya ulama berpendapat bahwa yang
berhak mengangkat nazhir adalah hakim, kecuali sebagian golongan hanabilah yang
berpendapat jika mauquf ?alaih-nya mua?yyan hak pengangkatan nazhir ada pada
mauquf ?alaih. Jika mauquf alaih-nya tidak mampu melaksanakan tugasnya, tugas
tidak kembali kepada hakim tetapi kepada wali mauquf ?alaih. Kedudukan nazhir
wakaf diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang
isinya lebih menegaskan kedudukan nazhir dalam perwakafan dan adanya batasan
imbalan nazhir dalam perwakafan. Kedudukan nazhir dalam proses perwakafan
disebabkan harta benda wakaf harus didaftarkan atas nama nazhir untuk kepentingan
pihak yang dimaksudkan dalam akta ikrar wakaf sesuai dengan peruntukannya. Bila
tidak ada nazhir maka tidak akan ada harta benda yang diwakafkan. Nazhir menurut
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf meliputi nazhir perseorangan,
nazhir organisasi, dan nazhir badan hukum.