Abstract :
Skripsi ini membahas mengenai ?Studi Komparasi Pendapat Imam Al-Syafi?i
Tentang Keharusan Istri Menerima Rujuk Suami Dengan KHI Pasal 164 Tentang
Kewenangan Istri Untuk Menolak Rujuk Suami?. Rujuk merupakan sesuatu yang
disyariatkan dalam Islam sebagai solusi atau cara bagi pasangan suami istri yang
hendak memperbaiki hubungan rumah tangga yang sempat terputus, karena terjadi
perceraian. Permasalahan tersebut dibahas menggunakan penelitian kepustakaan
(library research) yaitu dengan membaca, menalaah, mengutip buku-buku, jurnal-
jurnal serta tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan konsep rujuk. Tipe
penelitian ini adalah penelitian normatif yaitu pendekatan hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Data tersebut dianalisis
dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif yang berusaha mencari pemecahan
melalui analisa tentang sebab akibat, faktor-faktor yang diselidiki dan
membandingkan satu faktor dengan yang lain. Dan menggunakan analisis isi (content
analysis) merupakan kajian isi yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui
usaha memunculkan karakteristik pesan yang secara objektif dan sistematis.
Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara
pendapat Imam Al-Syafi?i dengan KHI dan istinbath hukum Imam Syafi?i tentang
keharusan istri menerima rujuk suami dan KHI Pasal 164 tentang kewenangan istri
menolak rujuk suami.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
pendapat yang sama antara keduanya yakni rujuk itu harus dengan perkataan dan niat
bukan dengan persetubuhan, sebaiknya dihadirkan 2 orang saksi dalam melakukan
rujuk kemudian perbedaan pendapat antara keduanya mengenai rujuk menurut
pandangan Imam Syafi?i bahwa rujuk itu hak bagi suami atas istrinya selama dalam
talak raj?i tidak disyariatkan adanya ridha dari istri maka seorang laki-laki berhak
untuk merujuk istrinya walaupun tanpa keridhaan istri tersebut dan menurut KHI
rujuk yang dilakukan harus berdasarkan pada persetujuan istri. Istinbath Imam Syafi?i
menggunakan dasar hukum dari Alquran dan Sunnah, terdapat dalam Q.S
Albaqarah/2:228 dan 229 bahwa suami mereka lebih berhak untuk merujuk mereka
sekalipun mereka tidak mau dirujuk disaat menunggu itu jika mereka menghendaki
perbaikan dan bukan untuk menyusahkan istri, dan dalam Q.S Al-Baqarah/2:234
bahwa rujuk terhadap istrinya itu tetap ada selama istri belum habis masa iddahnya
akan tetapi jika sudah habis masa iddahnya maka suami tersebut tidak bisa
merujukinya dan KHI menggunakan dasar hukum yang merujuk kepada pendapat
para fuqaha yang sangat dikenal di kalangan ulama dan masyarakat diantaranya imam
Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin hanbali.