Abstract :
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan karakter dan praktek
masyarakat Bugis Kabupaten Wajo di pesisir Danau Tempe pra Islam, mengetahui
bentuk-bentuk mistisisme maccéraq tappareng dalam masyarakat Bugis Kabupaten
Wajo, serta untuk mengetahui pola hubungan antara tradisi maccéraq tappareng dengan
Islam.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif lapangan yang
memaparkan secara naratif, deskriptif, uraian dari informan baik lisan maupun data
dokumen yang tertulis. Penelitian ini menggunakan cara kerja sosial antropologi dan
fenomenologi terhadap mistisime Bugis dengan empat pendekatan: historis,
fenomenologis, etnografis, dan filosofis. Adapun sumber data penelitian meliputi data
primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil observasi, wawancara terstruktur dan
terbuka, dan telaah dokumen. Sedangkan data sekunder berupa data dari berbagai
dokumen yang relevan dengan penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Data tersebut selanjutnya
dianalisis berdasarkan pengorganisasian data, reduksi data, dan penafsiran data.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi maccéraq tappareng sebagai bagian
dari warisan kebudayaan attoriolong memiliki unsur mistisisme baik secara praktikal
maupun pemahaman. Secara praktikal, perilaku mistis tersebut terbukti pada adanya
pemetaan wilayah-wilayah sakral di Danau Tempe dengan nama dan batas wilayah
masing-masing; penyerahan sesajian berupa kepala kerbau yang diturunkan di tengah
Danau Tempe; adanya tata cara khusus dalam penyembelihan kerbau yang berbeda dengan
penyembelihan hewan pada acara lainnya serta tata cara khusus penyerahan kepala kerbau
kepada penguasa danau (punna waé) yang hanya diketahui oleh maccua tappareng;
dihadirkannya perangkat walasuji yang menjadi wadah untuk menyimpan kepala kerbau
dan sesajian lainnya. Sedangkan dalam wilayah pemahaman, mistisisme tersebut dijumpai
pada keyakinan tentang adanya birokrasi gaib yang ada di Danau Tempe yang menguasai
dan memiliki wilayah tersendiri di beberapa tempat di danau. Puncak dari birokrasi gaib
tersebut adalah punna waé yang mendiami tengah danau; adanya rasa enggan untuk
melafazkan atau menyebut nama dan bentuk dari punna waé; tidak dibenarkannya untuk
mengganti kerbau dengan binatang lain; ditemukannya cerita-cerita rakyat tentang
beberapa hal yang dianggap keramat di danau; adanya filosofi terkait dengan cara khusus
dalam menurunkan kepala kerbau dan sesajian lainnya di danau yang dikaitkan dengan
pemahaman tentang makna ittihad antara manusia dan Tuhan; terlibatnya pemahaman
tentang pentingnya empat anasir yang menopang kehidupan, yakni api, air, tanah, dan
udara yang terwakili oleh empat warna dari beras ketan; adanya makna simbolik dari
setiap alat dan bahan sesajian yang digunakan untuk tradisi maccéraq tappareng yang
berhubungan dengan filosofi hidup attoriolong; adanya keyakinan bahwa punna waé di
Danau Tempe adalah arwah bangsawan Wajo sehingga wajib untuk menggunakan
walasuji dalam prosesinya; adanya keyakinan bahwa pelanggaran terhadap perintah dan
larangan yang berlaku bagi nelayan dapat berdampak langsung; adanya keyakinan bahwa
semua proses yang dilakukan dalam tradisi maccéraq tappareng merupakan bentuk
tawassul yang dimaksudkan untuk membuktikan rasa syukur nikmat; dilibatkannya peran
nabi Khidir As. sebagai bagian dari struktur birokrasi gaib di Danau Tempe.
Implikasi penelitian ini adalah: dalam wilayah kebudayaan, tradisi maccéraq
tappareng yang merupakan warisan budaya attoriolong perlu untuk dilestarikan sebagai
khazanah lokalitas budaya sehingga pemerintah perlu memasukkan tradisi tersebut
dalam anggaran APBD serta memperkuat institusi macua tappareng agar dapat menjadi
wakil pemerintah dalam menjaga kelestarian Danau Tempe. Tradisi maccéraq tappareng
berperan dalam ikut menjaga ekosistem Danau Tempe dan kohesi sosial masyarakat
nelayan sehingga perlu melibatkan Dinas Perikanan, Pariwisata, maupun dengan
Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya yang memiliki perhatian terhadap kelestarian
danau. Dualisme tauhid yang dialami oleh masyarakat nelayan perlu untuk dicarikan
strategi dakwah yang tepat oleh ulama setempat dengan tetap mengedepankan prinsip
ud’u> fi> sabi>li rabbikum bi al-hikmat wa al-maw’izat al-hasanat. Upaya persuasif ini
perlu dikedepankan daripada harus mengecam dan mencela tradisi tersebut, sehingga
pusat perayaan dan syukuran dapat diarahkan ke mesjid tanpa harus membuang kepala
kerbau di tengah danau.