Abstract :
Tingkat kebutuhan masyarakat khususnya di Indonesia pada era modern seperti sekarang sangatlah beragam. Tidak semua masyarakat dapat memenuhi kebutuhan tersebut dengan mudah. Masyarakat kerap menggunakan sistem pinjam
meminjam yang disebut dengan kredit untuk memenuhi kebutuhannya, salah satunya yaitu dengan kredit tanpa agunan. Mengingat kredit tanpa agunan terlalu
mengandung risiko, maka untuk memperkecil risiko tersebut, perlu perbuatan khusus dalam bentuk perjanjian kredit secara tertulis yang mana dibuatkan suatu
pengikatan dengan menyertakan jaminan. Salah satu peraturan yang bersangkutan dengan kegiatan tersebut adalah mengenai hukum jaminan, karena orang tidak
akan mudah percaya begitu saja jika ada seseorang atau pihak lain yang hendak meminjam uang dari dirinya jika tanpa adanya suatu jaminan. Pengaturan mengenai jaminan di Indonesia telah diatur didalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata. Dalam KUHPerdata belum secara spesifik mengatur mengenai hukum jaminan di Indonesia, seluruhnya hanya mengatur pada garis besar mengenai orang, kebendaan, perikatan serta
tentang pembuktian dan daluwarsa. Dengan mendasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 dan KUHPerdata maka lahirlah Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia selanjutnya disebut UndangUndang
Jaminan Fidusia. Lahirnya Undang-Undang Jaminan Fidusia
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hukum seiring dengan perkembangan jaman dan pertumbuhan perekonomian di Indonesia yang semakin pesat. Dengan adanya undang-undang tersebut maka diharapkan dapat memberi perlindungan hukum
bagi para pihak terkait serta dapat menjamin kepastian hukum. Banyaknya kejadian penarikan kendaraan yang menjadi objek jaminan secara paksa yang dilakukan oleh oknum leasing ketika debitur didapati wanprestasi membuat
masyarakat sebagai debitur merasa takut dan merasa tidak adanya perlindungan hukum bagi dirinya. Dalam hal eksekusi objek jaminan fidusia sendiri memiliki aturan dan tahapan yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh kreditur salah satu diantaranya adalah pendaftaran jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Jaminan
Fidusia. Setelah sertifikat fidusia keluar barulah kreditur dapat melakukan penarikan objek jaminan fidusia untuk dilelang guna pelunasan hutang, dan apabila masih terdapat sisa maka wajib dikembalikan terhadap debitur. Di dalam Undang-Undang Jamnian Fidusia belum mengatur mengenai sanksi tegas terhadap pihak kreditur yang melakukan tindakan penarikan kendaraan secara
paksa serta belum mengatur mengenai perlindungan hukum bagi debitur, akibatnya banyak kasus penarikan objek jaminan secara paksa dan hak debitur terabaikan. Perlu adanya perbaikan dalam perundang-undangan tersebut demi
terwujudnya keadilan bagi pihak-pihak yang bersangkutan.