DETAIL DOCUMENT
BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK TERHADAP MENINGGALNYA TERSANGKA DALAM PROSES PEMERIKSAAN
Total View This Week0
Institusion
Universitas Katolik Darma Cendika
Author
Manik, Saudur
Subject
K Law (General) 
Datestamp
2021-03-03 10:16:06 
Abstract :
Lahirnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disingkat KUHAP, dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi hak-hak setiap orang termasuk tersangka. Perlindungan terhadap tersangka semakin dipertegas dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. Setiap penyiksaan dan tindakan hukuman yang kejam, tak manusiawi, merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh pihak kepolisian (penyidik) terhadap tersangka merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia. Namun penyidik yang bersangkutan sulit untuk diproses secara hukum dan institusi kepolisian juga tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai peraturan perlindungan hak-hak tersangka dan pertanggungjawaban penyidik serta upaya hukum terhadap meninggalnya tersangka pada proses pemeriksaan. Pada KUHAP dikatakan bahwa terhadap tersangka yang salah tangkap dapat meminta hak rehabilitasi dan hak ganti rugi. Permasalahan yang kemudian muncul seperti, apakah tersangka yang meninggal sebelum ia diputus pengadilan bersalah atau tidak mendapatkan hak-hak tersebut. Terdapat contoh kasus tersangka yang meninggal dalam proses pemeriksaan. Dimana terhadap tersangka dilakukan penyiksaan, pemaksaan, kekerasan, tidak diperiksa sesuai dengan hukumnya hingga menimbulkan kematian. Penyidik yang bersangkutan tidak diproses secara hukum karena menganggap meninggalnya tersangka bukan dari kesalahan pihak penyidik. Penyidik maupun institusi juga sering menutup-nutupi dengan menjadikan meninggalnya tersangka akibat dari bunuh diri. Sehingga penyiksaan terhadap tersangka terus-menerus terjadi. Hal ini juga menjadikan penyidik semakin terbiasa melakukan penyiksaan terhadap tersangka pada proses pemeriksaan. Masalah yang kemudian dapat muncul adalah apakah institusi bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya (penyidik). Setelah dicermati pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, kejahatan penyiksaan seringkali diadili dengan delik pidana ?penganiayaan?. Sedangkan pengaturan mengenai ?penganiayaan? tidak cukup mampu menghadapi kompleksitas suatu tindakan penyiksaan. Akibatnya banyak kasus penyiksaan yang kemudian diperlakukan sebagai kejahatan biasa dan hanya menjangkau para pelaku langsung dengan hukuman yang relatif ringan. Dalam hal ini pula, perlu dibuat suatu perbaikan hukum agar dapat mencapai tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perbaikan hukum yang dapat dilakukan adalah dengan adanya penambahan pasal mengenai ?penyiksaan? dalam KUHP, agar tindakan penyiksaan tidak diadili sebagai kejahatan biasa. Selain itu dalam KUHP, juga perlu adanya peraturan mengenai pertanggungjawaban institusi terhadap pelanggaran maupun kejahatan yang dilakukan oleh penyidik. Dengan demikian dapatlah tercapai apa yang menjadi cita-cita hukum itu sendiri. 
Institution Info

Universitas Katolik Darma Cendika