DETAIL DOCUMENT
Inkonsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Dan Kekuatan Hukum Yang Timbul Akibat Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Mengikat Lembaga Legisatif
Total View This Week0
Institusion
Universitas Katolik Darma Cendika
Author
Manurung, Saut Parulian
Subject
K Law (General) 
Datestamp
2021-03-03 14:05:59 
Abstract :
Berdasarkan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), penafsir final konstitusi (the final interpreter of constitution), pelindung dari setiap hak asasi warga negara Indonesia (the protector of the human rights), pelindung hak konstitusional setiap warga negara (the protector of the citizen) dan pelindung demokrasi (the protector of the democracy). Maka putusan Mahkamah sudah seharusnya memenuhi rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Namun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 atas putusan tersebut telah terjadi inkonsistensi hasil putusan dari Mahkamah Konstitusi, sehingga menciderai kepastian hukum serta menimbulkan kekosongan hukum. Penulis merumuskan dua permasalahan dari latar belakang tersebut. Pertama, apakah dampak inkonsistensi hasil Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013? Kedua, apakah putusan Mahkamah Konstitusi mengikat lembaga legislatif? Penulis melakukan penelitian hukum dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach). Inkonsistensi dapat dilihat pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072073/PUU-II/2004 Mahkamah menyatakan diri berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Sedangkan, pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 Mahkamah menyatakan diri tidak lagi berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah dengan membatalkan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Poin pertama dan kedua dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi 97/PUU-XI/2013 saling bertentangan. Penulis berpendapat bahwa pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072073/PUU-II/2004 hakim menempatkan diri dalam perspektif judicial activism dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 hakim menempatkan diri dalam perspektif judicial restraint. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat declaratoir dan constitutief. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah final, akan mengikat setiap warga negara dan lembaga hukum atau disebut dengan sifat erga omnes sehingga menimbulkan hak dan/atau kewajiban. Jadi konsekuensi logisnya bagi lembaga legislatif adalah wajib untuk merevisi kembali norma-norma atau pasal-pasal yang konstitusionalitasnya telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi dan dinyatakan inkonstitusional. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUUXI/2013 menyatakan adanya kebijakan hukum terbuka atau opened legal policy, yang berarti Mahkamah Konstitusi memberi kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk merumuskan kembali pasal yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
Institution Info

Universitas Katolik Darma Cendika