DETAIL DOCUMENT
Makna Teologis Lagu Tuhan Kasihanilah dan Lagu Kemuliaan Karya Wensenslaus Mbete Ditinjau dari Perspektif Model Terjemahan dan Model Antropologis Teologi Kontekstual Stephen B. Bevans dan Implikasinya Bagi Karya Pastoral Liturgi di Paroki Salib Suci Maulo
Total View This Week0
Institusion
INSTITUT FILSAFAT DAN TEKNOLOGI KREATIF LEDALERO
Author
RAWI, Kristoforus
Subject
230 Agama Kristen, Teologi Kristen 
Datestamp
2024-05-07 04:45:10 
Abstract :
Penelitian ini bertujuan pertama-tama ingin menemukan makna teologis lagu Tuhan Kasihanilah (Ngga?e Wuamesu Kami) dan lagu Kemuliaan (More Ngga?e) karya Wenseslaus Mbete dari perspektif model terjemahan dan antropologis teologi kontekstual Stephen Bevans. Dari tujuan ini pula hal yang ingin dicapai antara lain: (1) menjelaskan tentang sosok Wenseslaus Mbete dan lagu Tuhan Kasihanilah (Ngga?e Wuamesu Kami) dan lagu Kemuliaan (More Ngga?e) gubahannya. (2) Menjelaskan tentang makna-makna teologis yang terkandung dalam lagu Tuhan Kasihanilah (Ngga?e Wuamesu Kami) dan lagu Kemuliaan (More Ngga?e) karya Wenses Laus Mbete. (3) Menguraikan pemahaman tentang berteologi dalam konteks model terjemahan dan antropologis teologi kontekstual Stephen B. Bevans. (4) Menjelaskan makna teologis lagu Tuhan Kasihanilah (Ngga?e Wuamesu Kami) dan lagu Kemuliaan (More Ngga?e) karya Wenseslaus Mbete ditinjau dari perspektif model terjemahan dan antropologis teologi kontekstual Stephen B. Bevans dan (5) Mewariskan makna teologi iman katolik yang terkandung dalam lagu Tuhan Kasihanilah (Ngga?e Wuamesu Kami) dan lagu Kemuliaan (More Ngga?e) karya Wenseslaus Mbete untuk karya pastoral Liturgi di Paroki Salib Suci Maulo?o. Di sisi lain, demi memperoleh data dan informasi yang terperinci untuk mendukung penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan penelitian gabungan yakni menggunakan pendekatan studi pustaka, dan metode penelitian kualitatif (wawancara). Keduanya saling menunjang demi tercapainya tujuan penelitian sesuai dengan tema yang diangkat. Dalam hubungannya dengan tujuan penelitian ini, alasan mendasar peneliti menggarap pokok ini sejatinnya merujuk pada sebuah kerangka berpikir bahwa eksistensi Allah dapat dimaknai di dalam budaya. Sebab pada masa ini ketika berbicara tentang berteologi dalam konteks, budaya dan segala aspek di dalamnya menjadi sasaran sekaligus inpirasi baru dalam memeperkenalkan Kristus, terutama dalam melihat, menemukan dan memaknai kehadiran-Nya di dalam budaya. Sebelum Gereja berkembang dipelbagai pelosok belahan dunia, masyarakat lokal pada umumnya sudah memiliki kayakinannya sendiri. Umumnya mereka percaya tentang suatu Wujud yang paling berkuasa atas mereka dan alam semesta. Mereka menyembah Wujud itu melalui ritual, bahasa dan pola hidup mereka. Dari realitas ini dapat dikatakan bahwa sebelum Gereja Katolik dan teologinya diterima dalam masyarakat lokal, masyarakat budaya lokal tersebut sudah memiliki konsep teologinya sendiri yakni teologi tentang ?Wujud Tertinggi?. Gereja Katolik dalam hal inilah, menyesuaikan realitas budaya dengan konsep teologinya. Artinya, Gereja tidak saja melulu berpatokan pada pemahaman Tuhan dari dunia Barat yang bersumber dari Kitab Suci dan tradisi, melainkan menyesuaikan pemahamannya dengan konsep teologi masyarakat budaya setempat dengan asas dasar bahwa tidak menghilangkan inti ajaran Kristiani. Dari pemahaman tentang berteologi dalam konteks ini, penulis terdorong untuk melihat makna teologi budaya Lio akan ?Wujud Tertinggi? yang disebut Du?a Ngga?e dan menemukan teologi Gereja Katolik di dalamnya. Masyarakat budaya Lio umumnya meyakini bahwa ada sebuah Wujud yang berkuasa atas manusia dan alam semesta yang di sebut Du?a Ngga?e. Du?a Ngga?e selalu dinilai sebagai ?Wujud Tertinggi? yang dapat memberikan kebahagian dan kesejahteraan di bumi dan di akhirat. Kayakinan demikian memposisikan Du?a Ngga?e sebagai wujud yang patut disembah. Masyarakat budaya Lio biasanya mengungkapkan penyembahannya kepada Du?a Ngga?e melalui pelbagai ritual. Semua ritual yang dijalankan umumnya diungkapkan dalam bentuk tarian (Bedu Bebu), doa dan pujian (ngaji-ndenda), syair-syair adat (suasasa) dan pelbagai bentuk ritual lainnya. Ini semua merupakan eksperesi diri dan pengungkapan iman mereka terhadap ?Wujud Tertinggi?. Pola pengungkapan keyakinan kepada Du?a Ngga?e ini masih bertahan hingga saat ini. Ketika Gereja Katolik berkembang dan masuk ke dalam budaya Lio, konsep tentang penyembahan akan ?Wujud Tertinggi? ini mengalami pengembangan pemahaman tentang Du?a Ngga?e. Masyarakat budaya Lio diyakinkan oleh Gereja bahwa konsep tetang Du?a Ngga?e mendapat pemahaman yang sempurna tentang Tuhan dalam Gereja Katolik. Secara umum hal ini diterima oleh masyarakat Lio pada umumnya. Dari konsep Tuhan dalam Gereja Katolik ini, lahirlah pelbagai upaya masyarakat untuk memahami konsep Tuhan itu sesuai dengan budaya Lio. Hal ini biasa terungkap dalam doa, tarian, syair adat dan juga lagu-lagu rohani dalam budaya Lio. Salah satu tokoh adat dalam budaya Lio, khususnya di daerah Lio Paga- kabupaten Sikka yakni Wensenslaus Mbete (74 tahun) yang akrab disapa Wenseslaus Mbete menjadi salah satu tokoh yang berperan aktif menyesuaikan lagu-lagu liturgi Gereja Katolik dengan pemahaman teologi ?Wujud Tertinggi? dalam budaya Lio. Salah satu yang menjadi aspek dasar yang ditampilkan dalam lagu-lagu ciptaannya ialah tentang penggunaan bahasa adat budaya Lio kepada ?Wujud Tertinggi? ke dalam konsep dasar nyanyia 
Institution Info

INSTITUT FILSAFAT DAN TEKNOLOGI KREATIF LEDALERO