DETAIL DOCUMENT
Asuhan Keperawatan pada Pasien Post Operasi Transurethral Resection Prostat (TURP) Causa Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di Ruang Dahlia Rumah Sakit Umum Daerah Mardi Waluyo Kota Blitar
Total View This Week0
Institusion
STIKES Patria Husada
Author
Andriyanto, Defi
Subject
Fundamentals of Nursing 
Datestamp
2020-05-28 02:23:12 
Abstract :
Benign prostate hyperplasia (BPH) merupakan proliferasi jaringan ikat, otot polos, dan epitel kelenjar pada zona transisi prostat yang tidak terkendali sehingga terjadi obstruksi saluran kemih akibat pembesaran prostat, keluarnya air seni dapat mendadak berhenti (retensio urine) sehingga timbul rasa nyeri hebat pada perut dan urin harus dikeluarkan dengan kateter urin. Ketergantungan cateter urin sering menimbulkan infeksi kandung kemih sampai ke ginjal dan dapat gagal ginjal. Tindakan operasi paling sering adalah Transurethral Resection Prostat (TURP), di Rumah Sakit Mardi Waluyo Blitar TURP adalah operasi dengan frekuensi pringkat pertama, data januari sampai juni 2019 sebanyak 101 kasus atau 69% dari semua jenis operasi urologi. Diagnosa keperawatan pada teori pasien post (TURP) adalah 1) nyeri akut, 2) perfusi jaringan perifer tidak efektif, 3) resiko infeksi, 4) gangguan mobilitas fisik dan 5) nausea. Dari empat pasien kasus yang dikelola penulis diagnosa 1-4 selalu muncul dalam kasus hanya diagnosa keperawatan nausea tidak pernah muncul, hal ini karena teori menjelaskan nausea terjadi akibat efek agen obat anastesi umum sedangkan pada kasus anastesi yang digunakan dalam operasi TURP adalah anastesi spinal dimana tidak memiliki efek mual muntah. Pada tindakan keperawatan antara kasus dan teori diagnosa 1,3 dan 4 rata rata intervensinya sama yaitu intervensi utama atau solutif terhadap masalah (SIKI), tapi pada intervensi diagnosa ke 2 ada tiga kesenjangan yang ditemukan penulis yang pertama adalah intervensi yang digunakan merupakan intervensi penunjang (kurang solutif), kedua ada intervensi yang tidak ada didalam teori (SIKI) yaitu pemberian produk darah (transfusi) sehingga saat dilapangan penulis melakukan tindakan transfusi dengan menggunakan pedoman SOP tindakan transfusi darah milik RSUD Mardi Waluyo Blitar dan ketiga saat terjadi kendala cateter irigasi urin macet akibat gumpalan darah pasien kasus ke dua sehingga mengalami retensio urin dan dilakukan vakum melancarkan irigasi urin, kasus dilapangan seperti ini di dalam teori SDKI dan SIKI tidak ada pembahasannya yang terkait gangguan eliminasi urin (retensio urin) akibat irigasi urin macet oleh gumpalan darah, demikian juga dengan intervensinya sehingga saat pelaksanaan di lapangan penulis menggunakan pedoman SOP tindakan prosedur irigasi urin yang didalamnya termasuk tindakan vakum milik RSUD Mardi Waluyo Blitar. Pada evaluasi keperawatan lama perawatan tiap kasus berbeda beda kasus pertama 4 hari, kedua 5 hari, ke tiga dan ke empat 3 hari hal ini akibat perbedaan faktor usia pasien, besarnya prostat, lama ketergantungan penggunaan cateter urin yang menetap sebelum operasi serta penyakit sekunder lainnya yang mempengaruhi resiko perdarahan, resiko infeksi dan derajad nyeri post operasi TURP sehingga menentukan lama masalah keperawatan pasien teratasi. Saran bagi organisasi profesi : Meningkatkan kajian SDKI terkait penegakan diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin (retensio urin) akibat kemacetan irigasi urin gumpalan darah. sedangkan pada SIKI yang pertama penambahan intervensi vakum gumpalan darah dalam cateter urin pasien irigasi urin pasien post operasi TUR P, kedua menambahkan intervensi penambahan produk darah (transfusi darah) karena implementasi transfusi sangat sering dilakukan dilapangan. 

Institution Info

STIKES Patria Husada