Institusion
INSTITUT FILSAFAT DAN TEKNOLOGI KREATIF LEDALERO
Author
YUSTISIANTO, Benediktus Suhendra
Subject
BR Christianity
Datestamp
2021-09-28 03:40:49
Abstract :
Perkawinan seturut pedoman hukum perkawinan Gereja Katolik, adalah suatu
sakramen dan mempunyai kekhasan dalam perkawinan yang bersifat satu (monogam)
dan tak terceraikan (indisolubilis). Perkawinan itu bertujuan untuk pemenuhan
kesejahteraan suami isteri itu sendiri (bonum coniugum), serta kelahiran dan pendidikan
anak-anak (bonum prolis). Perkawinan seturut pedoman Tata Gereja yang diatur dalam
Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS), mengamini perkawinan Kristen yang juga bersifat
satu dan tak terceraikan. Perkawinan itu bertujuan untuk pengudusan suami dan isteri,
serta kelahiran dan pendidikan anak-anak. Gereja Kristen Sumba (GKS) tidak
memandang perkawinan sebagai suatu sakramen, akan tetapi perkawinan itu tetap
dijunjung tinggi sebagai suatu anugerah mulia yang dikendaki Allah. Gereja Katolik
dan Gereja Kristen Sumba (GKS), sangat menekankan unsur hakiki kesatuan dalam
baptisan yang satu dan sama, antara kedua pribadi yang hendak menikah.
Perkawinan kristiani dalam kedua Gereja ini tentu memiliki syarat-syarat yang
wajib dipenuhi demi sah dan halalnya perkawinan tersebut. Persiapan jarak jauh,
persiapan dekat dan persiapan langsung adalah tahapan penting yang harus dilalui oleh
para calon pengantin. Para calon pengantin akan berproses untuk dapat memahami dan
memaknai perkawinan kristiani secara baik dan benar, lewat kursus persiapan
perkawinan, katekese dan katekisasi pranikah, penggembalaan, serta penyelidikan
kanonik dan tata Gereja dalam kedua Gereja. Perkawinan kristiani yang diakui dalam
kedua Gereja, juga sedapat mungkin harus terbebas dari halangan-halangan yang dapat
menggagalkan perkawinan yang dimaksud, seperti halnya halangan karena faktor ikatan
perkawinan terdahulu, usia, kesehatan, kejahatan, tahbisan atau kaul kekal dan
hubungan garis darah dalam keturunan.
Perkawinan kristiani dalam konteks tatanan masyarakat pulau Sumba yang
pluralis dalam keanggotaan Gereja, secara khusus antara pemeluk Gereja Katolik dan
Gereja Kristen Sumba (GKS), mempunyai suatu kekhasan khusus dalam terang
ekumene. Kenyataan ini selalu membuka peluang bagi lingkaran perkawinan campur.
Gereja Katolik mengenal dua jenis perkawinan campur, yakni perkawinan campur beda
Gereja (mixta religio) dan perkawinan campur beda agama (disparitas cultus). Gereja
Kristen Sumba (GKS) pada awalnya tidak mengenal bentuk perkawinan campur.
Namun dalam kerja sama ekumene, kedua Gereja telah duduk bersama untuk
merumuskan dan menyepakati suatu perjanjian, yang dikenal dengan nama perjanjian
Perkawinan Campur Gerejani (PCG). Perjanjian ini hanya berlaku untuk perkawinan
campur beda Gereja antara anggota kedua Gereja tersebut.
Perkawinan Campur Gerejani (PCG), harus mengantongi izinan (licentia) dari
pimpinan kedua Gereja, serta melewati tahapan-tahapan perkawinan yang diatur dalam
masing-masing Gereja dan mengindahkan kesepakatan, serta janji yang telah ditetapkan
bersama oleh kedua pihak, demi sah dan halalnya perkawinan tersebut, secara khusus
menyangkut janji untuk setia dalam iman dan keaggotaan Gereja masing-masing, janji
tentang baptisan dan pendidikan iman anak-anak, serta janji untuk mempertahankan
keutuhan perkawinan seumur hidup.
Gereja universal telah berjalan dalam sebuah ziarah teramat panjang, dengan
lika-liku kehidupannya yang beragam. Terdapat serentetan perpecahan besar dalam
tubuh Gereja Yesus Kristus, yakni perpecahan pasca konsili Khalsedon terkait
pertentangan antara aliran monofisitisme dan nestorianisme, perpecahan karena skisma
Gereja Timur Yunani (Konstantinopel) dan Gereja Barat Latin (Roma), perpecahan
karena gerakan reformasi yang dipelopori oleh Martin Luther, Yohanes Kalvin dan
Ulrich Zwingli, perpecahan karena skandal perkawinan Raja Henry VIII yang
melahirkan Gereja Anglikan, dan serentetan perpecahan-perpecahan kecil lainnya dalam
tubuh Gereja yang melahirkan banyak denominasi-denominasi Gereja. Sekian banyak
usaha untuk menghidupkan gerakan ekumene mulai digalakkan, meski dalam
kenyataannya Gereja Katolik sendiri pada mulanya terkesan apatis dan tertutup pada
gerakan ekumene. Gereja Katolik baru mulai bergiat dalam gerakan ekumene untuk
upaya pemulihan kesatuan Gereja, pasca Konsili Vatikan II.
Dewasa ini terdapat banyak usaha-usaha yang nyata dari umat kristiani yang
tersebar di pelbagai Gereja, untuk mencapai persatuan Gereja Yesus Kristus yang
tunggal. Gerakan itu lazimnya dikenal dengan sebutan gerakan ekumene. Kata ekumene
diambil dari kata bahasa Yunani, oikumene yang berarti seluruh dunia atau dunia yang
dihuni. Ekumene adalah medan karya Gereja, tempat Gereja hidup dan menjalankan
tugasnya untuk mewartakan Injil.
Dalam perjalanan sejarah, kata ekumene telah mengalami beberapa perubahan
makna. Ekumene dapat berarti hal yang berhubungan dengan dunia seluruhnya.
Ekumene juga berarti hal yang berhubungan dengan Gereja seluruhnya dan hal-hal yang
berlaku secara umum dalam Gereja, di mana ada hubungan antara dua atau lebih Gerej