Abstract :
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan sosok Paus Fransiskus dan
seluruh lanskap karya pastoralnya, (2) mengulas model spiritualitas belas kasih yang
mendasari seluruh karya pelayanan Paus Fransiskus, (3) mengelaborasi perikop Markus
6:30-44 sebagai landasan biblis dari spiritualitas belas kasih Paus Fransiskus, dan (4)
menjabarkan poin-poin relevansi dari spiritualitas belas kasih Paus Fransiskus bagi
hidup dan karya pastoral para imam dewasa ini.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan. Objek
kajian yang diteliti adalah model penghayatan spiritualitas belas kasih Paus Fransiskus
dalam terang Mrk. 6:30-44. Sumber data primer penelitian ini adalah buku Alkitab
Deuterokanonika dan buku-buku yang secara khusus mengulas Paus Fransiskus. Sumber
data sekunder diperoleh dari kajian terhadap berbagai buku, ensiklik, majalah dan jurnal
yang berhubungan langsung dengan tema penelitian.
Berdasarkan kajian yang dilalui dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa
spiritualitas belas kasih Paus Fransiskus, yang berlandas pada spirit pelayanan Yesus
dalam Mrk. 6:30-44, memiliki manfaat dan menjadi sumber inspirasi bagi hidup dan
karya para imam dewasa ini. Spiritualitas belas kasih ini dapat menjadi pedoman
sekaligus kunci yang menopang penghayatan imamat para imam sebagai alter Christi.
Dengan menghayati spiritualitas ini, para imam diarahkan untuk semakin mampu
menjadi pribadi yang responsif terhadap realitas penderitaan umat yang dilayaninya.
Semangat belas kasih memampukan para imam untuk dapat memberi diri secara total
dalam seluruh karya pelayanannya. Hanya dengan demikian, kehadiran para imam
sungguh menjadi berkat yang berdaya guna bagi banyak orang.
Setelah mencermati pola hidup dan karya pastoral Paus Fransiskus dapat dilihat
bahwa model penghayatan spiritualitas belas kasih Paus Fransiskus yang mempunyai
dasar biblis dalam Mrk. 6:30-44 amat relevan dan patut diteladani oleh para imam dalam
dunia dewasa ini. Berdasarkan hasil kajian ini, ada enam hal praktis yang perlu
ditumbuhkembangkan oleh para imam dalam seluruh reksa pastoralnya. Adapun keenam
hal itu, antara lain:
Pertama, hidup para imam harus berpusat pada Allah. Allah harus menjadi titik
star (terminus aquo) sekaligus titik tuju (terminus a quem) dalam seluruh reksa
pelayanannya. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi para imam selain terus membangun
habitus doa dan Ekaristi sebagai pusat dan puncak kehidupannya. Kedekatan relasi
dengan Allah sebagai sumber kekuatan harus menjadi optio fundamentalis (pilihan sikap
dasar) dalam seluruh dinamika panggilannya. Hanya dengan demikian, mereka dapat
mengalami Allah dan dapat menjalankan karya pastoral sesuai dengan kehendak Allah
sendiri.
Kedua, menjadi pribadi penginisiatif. Menjadi pribadi yang berpusat pada Allah
tidak berarti mengabaikan relasi dengan sesama yang lain. Relasi vertikal dengan Allah
mesti dibarengi dengan inisiatif untuk selalu menjalin relasi horisontal dengan sesama
yang lain. Karena itu, iman kepada Allah yang dipupuk melalui doa dan Ekaristi mesti
diekspansikan/diekspresikan ke dalam tindakan nyata. Perintah Yesus dalam Mrk. 6:37
sebenarnya hendak menegaskan hal ini. Bahwa iman para murid dan juga para imam
dewasa ini harus berdaya transformatif. Bahwa iman kepada Allah tidak boleh hanya
teruntai dalam kata-kata atau hanya berkutat pada pengakuan verbal semata tetapi mesti
terurai atau termanifestasikan juga dalam aksi-aksi nyata. Singkatnya, keberimanan para
imam mesti beralih dari verbalitas kepada aktualitas. Sebab sejatinya, menyitir kembali
pernyataan St. Yakobus, “seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian juga iman
tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.†(Yak. 2:26).
Ketiga, dalam bingkai inilah, maka pilihan menjadi gembala yang berbau domba
mutlak perlu. Menjadi gembala yang berbau domba berarti menjadi gembala yang
responsif. Responsif berarti peduli dan tanggap serta turut bertanggung jawab terhadap
penderitaan sesama. Menjadi pribadi yang responsif berarti berani menjadi pribadi yang
mampu beralih dari egoistic paradigm menuju altrustic paradigm; harus berani berubah
haluan dari “cara pandang yang berpusat pada diri/ingat diri†kepada “cara pandang
yang selalu mengedepankan kesejahteraan atau kebaikan bersama. Hal itu hanya
mungkin, apabila para imam memiliki sensitivitas kemanusiaan (sense of humanity).
Selain itu, prinsip respendeo ergo sum (Saya bertanggung jawab maka saya ada) mesti
menjadi pegangan atau moto pelayanan mereka. Dalam alur berpikir seperti ini,
keberanian para imam untuk terus “memberi†atau melayani bahkan harus rela menjadi
“roti†bagi sesama, merupakan sebuah sikap pastoral yang amat berarti.
Keempat, agar aktus pelayanan itu menjadi tepat konteks dan tepat sasar
terutama agar dapat menjawabi kebutuhan riil umat, maka dialog atau komunikasi dan
kerja sama menjadi mutlak perlu. Tentu para imam akan berhadapan dengan