DETAIL DOCUMENT
Spiritualitas Belas Kasih Paus Fransiskus Berdasarkan Mrk. 6:30-44 Sebagai Inspirasi Bagi Hidup Dan Karya Pastoral Para Imam.
Total View This Week7
Institusion
INSTITUT FILSAFAT DAN TEKNOLOGI KREATIF LEDALERO
Author
ENDI, Eduardus
Subject
BR Christianity 
Datestamp
2021-09-28 05:06:53 
Abstract :
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan sosok Paus Fransiskus dan seluruh lanskap karya pastoralnya, (2) mengulas model spiritualitas belas kasih yang mendasari seluruh karya pelayanan Paus Fransiskus, (3) mengelaborasi perikop Markus 6:30-44 sebagai landasan biblis dari spiritualitas belas kasih Paus Fransiskus, dan (4) menjabarkan poin-poin relevansi dari spiritualitas belas kasih Paus Fransiskus bagi hidup dan karya pastoral para imam dewasa ini. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan. Objek kajian yang diteliti adalah model penghayatan spiritualitas belas kasih Paus Fransiskus dalam terang Mrk. 6:30-44. Sumber data primer penelitian ini adalah buku Alkitab Deuterokanonika dan buku-buku yang secara khusus mengulas Paus Fransiskus. Sumber data sekunder diperoleh dari kajian terhadap berbagai buku, ensiklik, majalah dan jurnal yang berhubungan langsung dengan tema penelitian. Berdasarkan kajian yang dilalui dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa spiritualitas belas kasih Paus Fransiskus, yang berlandas pada spirit pelayanan Yesus dalam Mrk. 6:30-44, memiliki manfaat dan menjadi sumber inspirasi bagi hidup dan karya para imam dewasa ini. Spiritualitas belas kasih ini dapat menjadi pedoman sekaligus kunci yang menopang penghayatan imamat para imam sebagai alter Christi. Dengan menghayati spiritualitas ini, para imam diarahkan untuk semakin mampu menjadi pribadi yang responsif terhadap realitas penderitaan umat yang dilayaninya. Semangat belas kasih memampukan para imam untuk dapat memberi diri secara total dalam seluruh karya pelayanannya. Hanya dengan demikian, kehadiran para imam sungguh menjadi berkat yang berdaya guna bagi banyak orang. Setelah mencermati pola hidup dan karya pastoral Paus Fransiskus dapat dilihat bahwa model penghayatan spiritualitas belas kasih Paus Fransiskus yang mempunyai dasar biblis dalam Mrk. 6:30-44 amat relevan dan patut diteladani oleh para imam dalam dunia dewasa ini. Berdasarkan hasil kajian ini, ada enam hal praktis yang perlu ditumbuhkembangkan oleh para imam dalam seluruh reksa pastoralnya. Adapun keenam hal itu, antara lain: Pertama, hidup para imam harus berpusat pada Allah. Allah harus menjadi titik star (terminus aquo) sekaligus titik tuju (terminus a quem) dalam seluruh reksa pelayanannya. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi para imam selain terus membangun habitus doa dan Ekaristi sebagai pusat dan puncak kehidupannya. Kedekatan relasi dengan Allah sebagai sumber kekuatan harus menjadi optio fundamentalis (pilihan sikap dasar) dalam seluruh dinamika panggilannya. Hanya dengan demikian, mereka dapat mengalami Allah dan dapat menjalankan karya pastoral sesuai dengan kehendak Allah sendiri. Kedua, menjadi pribadi penginisiatif. Menjadi pribadi yang berpusat pada Allah tidak berarti mengabaikan relasi dengan sesama yang lain. Relasi vertikal dengan Allah mesti dibarengi dengan inisiatif untuk selalu menjalin relasi horisontal dengan sesama yang lain. Karena itu, iman kepada Allah yang dipupuk melalui doa dan Ekaristi mesti diekspansikan/diekspresikan ke dalam tindakan nyata. Perintah Yesus dalam Mrk. 6:37 sebenarnya hendak menegaskan hal ini. Bahwa iman para murid dan juga para imam dewasa ini harus berdaya transformatif. Bahwa iman kepada Allah tidak boleh hanya teruntai dalam kata-kata atau hanya berkutat pada pengakuan verbal semata tetapi mesti terurai atau termanifestasikan juga dalam aksi-aksi nyata. Singkatnya, keberimanan para imam mesti beralih dari verbalitas kepada aktualitas. Sebab sejatinya, menyitir kembali pernyataan St. Yakobus, “seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian juga iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.” (Yak. 2:26). Ketiga, dalam bingkai inilah, maka pilihan menjadi gembala yang berbau domba mutlak perlu. Menjadi gembala yang berbau domba berarti menjadi gembala yang responsif. Responsif berarti peduli dan tanggap serta turut bertanggung jawab terhadap penderitaan sesama. Menjadi pribadi yang responsif berarti berani menjadi pribadi yang mampu beralih dari egoistic paradigm menuju altrustic paradigm; harus berani berubah haluan dari “cara pandang yang berpusat pada diri/ingat diri” kepada “cara pandang yang selalu mengedepankan kesejahteraan atau kebaikan bersama. Hal itu hanya mungkin, apabila para imam memiliki sensitivitas kemanusiaan (sense of humanity). Selain itu, prinsip respendeo ergo sum (Saya bertanggung jawab maka saya ada) mesti menjadi pegangan atau moto pelayanan mereka. Dalam alur berpikir seperti ini, keberanian para imam untuk terus “memberi” atau melayani bahkan harus rela menjadi “roti” bagi sesama, merupakan sebuah sikap pastoral yang amat berarti. Keempat, agar aktus pelayanan itu menjadi tepat konteks dan tepat sasar terutama agar dapat menjawabi kebutuhan riil umat, maka dialog atau komunikasi dan kerja sama menjadi mutlak perlu. Tentu para imam akan berhadapan dengan  
Institution Info

INSTITUT FILSAFAT DAN TEKNOLOGI KREATIF LEDALERO