Abstract :
Pada penelitian ini penulis mengangkat permasalahan terkait tindakan pengusiran pencari suaka oleh Australia menurut Konvensi Status Pengungsi Tahun 1951 (The 1951 Convention Relating to The Status of Refugees). Pilihan tema tersebut dilatarbelakangi oleh adanya pelanggaran prinsip non-refoulment yang dilakukan oleh Australia dalam pengusiran pencari suaka.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini memilih rumusan masalah: (1) Apa dasar pertimbangan hukum Australia melakukan pengusiran terhadap para pencari suaka ? (2) Apakah pengusiran pencari suaka oleh Australia dapat dibenarkan menurut Konvensi Status Pengungsi Tahun 1951 ?
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan case approach dan statute approach. Data primer dan sekunder diperoleh, dianalisis dengan menggunakan metode studi kepustakaan (library research) dengan tujuan mengolah data-data yang diperoleh dari buku digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada.
Dari hasil penelitian dengan metode di atas, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada bahwa dasar pertimbangan hukum Australia dalam melakukan pengusiran pencari suaka adalah dengan membuat kebijakan perlindungan perbatasan yang disebut Operation Sovereign Borders atau Operasi Perbatasan Kedaulatan. Australia dalam melakukan operasi ini memiliki dua alasan. Alasan pertama adalah operasi ini dilakukan untuk penanggulangan kejahatan lintas negara yang masih banyak terjadi dengan alasan pengungsian. Alasan kedua adalah besarnya biaya yang dikeluarkan Australia dalam melakukan penanganan pengungsi karena Australia merupakan negara tujuan pencari suaka. Pengusiran pencari suaka yang dilakukan Australia dalam Operasi Kedaulatan Perbatasan menerima banyak kecaman dari berbagai pihak. Pengusiran yang dilakukan oleh Australia telah melanggar prinsip non-refoulment yang tercantum pada pasal 33 ayat (1) Konvensi Status Pengungsi Tahun 1951.