DETAIL DOCUMENT
Implikasi Yuridis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/Puu-Xiv/2016 Terhadap Tindak Pidana Korupsi (Pasal 2 Ayat 1 Dan Pasal 3)
Total View This Week0
Institusion
Universitas Brawijaya
Author
Malawat, Taufik
Subject
345.023 23 Specific crimes and classes of crime (Corruption) 
Datestamp
2021-11-29 01:51:48 
Abstract :
Kehadiran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang mengabulkan uji materiil untuk menghapus kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan dan perekonomian negara” yang termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mana dalam putusanya tersebut merubah unsur delik formil menjadi delik materiil artinya kerugian keuangan dan perekonomian negara harus dibuktikan terlebih dahulu untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi, putusan tersebut dapat membawa dilematika atau problematika hukum terkait bagaimana implikasi yuridis pasca putusan MK No 25/PUU-XIV/2016 terhadap tindak pidana korupsi, dan bagaimana merumuskan konsep pemberantasan tindak pidana korupsi yang tepat dimasa mendatang. Penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual dan perbandingan dengan UU Tipikor Negara Korea dan Malasyia yang sama-sama terdapat unsur kerugian negara tetapi yang membedakan harus dibuktikan terlebih dahulu atau tidak kerugian tersebut, perbandingan juga dilakukan dengan Thailand yang tidak menekankan pada pembuktian kerugian negara, dengan bahan hukum primer dari inventarisir dan analisis peraturan perundang-undangan dan putusan MK terkait, bahan hukum sekunder studi kepustakaan, dan bahan hukum tersier dari kamus hukum. Implikasi yuridis putusan MK tersebut terhadap proses penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan, bahkan pembuktian menjadi terhambat dan terjadi inefektifitas proses sebab menunggu hasil laporan pemeriksaan terkait dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh BPK atau lembaga terkait, dan dikhawatirkan dapat terjadi penghilangan barang bukti. Pengahapusan frasa kata “dapat” dalam putusan MK No 25/PUU-XIV/2016 bukan hanya merubah unsur delik formil menjadi materiil, akan tetapi tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pelaku dan korban tindak pidana korupsi. Kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) harus dikembalikan sehingga memiliki kekuatan mengikat, dan/atau menambahkan kata “niat” sebelum frasa “secara melawan hukum”, sebab Pasal 2 ayat (1) bukan sebatas potensial loss, atau berapa kerugian negara melainkan apabila sudah terdapat unsur “niat” maka perbuatan tersebut sudah dapat dikategorikan tindak pidana korupsi. Perbandingan dengan UU Tipikor Korea dan Malasyia, serta kode penal Thailand menunjukan bahwa UU tersebut tidak mensyaratkan harus dilakukan pembuktian terlebih dahulu terhadap kerugian keuangan dan perekonomian negara. Putusan MK No 25/PUU-XIV/2016 berseberangan dengan Konsep UNCAC yang telah diratifikasi dengan UU No 7 Tahun 2006 sebab UNCAC tidak mengatur rumusan tindak pidana korupsi yang menitikberatkan pada unsur “merugikan keuangan atau perekonomian negara”, sehingga bukan hal yang bersifat mutlak atau tidak perlu melainkan cukup memenuhi unsur perbuatan tindak pidana korupsi, sehingga saran Bagi Pemerintah segera mengeluarkan Perpu atau merubah ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999. 
Institution Info

Universitas Brawijaya