Abstract :
Penulisan skripsi ini dilator belakangi oleh diberlakunya undang-undang
nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara (selanjutnya disebut dengan UU
Minerba), hal ini dikarenakan terjadi penyeragaman bentuk pengusahaan
pertambangan pada semua jenis bahan mineral, termasuk mineral radioaktif yang
mempergunakan bentuk izin sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan
pengusahaan pertambangan, sesuai dengan bunyi pasal 35. Padahal pasal 9 ayat 2
undang-undang nomor 10 tahun 1997 tentang ketenaganukliran (selanjutnya disebut
dengan UU Ketenaganukliran). Masih membedakan pemberian hak pengusahaan
pertambangan berdasarkan para pihak yang melakukan pengusahaan. Pihak asing
yang melakukan kegiatan pertambangan mineral radioaktif menggunakan bentuk
pengusahaan pertambangan kontark karya. Hal ini yang menyebabkan terjadinya
konflik norma antara pasal 35 UU Ketenaganukliran dengan pasal 9 ayat 2 UU
Minerba.
Masalah dalam penelitian ini, bagaimanakah implikasi yuridis berlakunya
pasal 35 undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara terhadap
kedudukan pasal 9 ayat 2 undang-undang nomor 10 tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran.
Penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan metode
pendekatan perundang-undangan (statute approach). Teknik penelusuran bahan
hukum dilakukan dengan studi kepustakaan (library research). Teknik analisis
menggunakan penafsiran sistematis dengan mengakaitkan satu undang-undang
dengan yang lainnya, penafsiran historis melihat melalui rancangan undang-undang
dan naskah akademik undang-undang ketenaganukliran dan undang-undang mineral
dan batubara, serta penafsiran futuristic, menggunakan rancangan undang-undang
ketenaganukliran.
Dasar berlakunya bentuk pengusahan kontrak karya pada UU
Ketenganuklirann adalah undang-undang nomor 11 tahun 1967 tentang ketentuanketentuan
pokok pertambangan (selanjutnya disebut dengan UU Pokok
Pertambangan). Hal ini dapat dibuktikan pada ketentuan mengingat undang-undang
ketenaganukliran. Seperti yang kita telah ketahui bersama bentuk pengusahaan
xii
kontrak karya sudah dihapus dan diganti dengan bentuk izin. Hal ini merupakan
konsekuensi dari digantikanya UU Pokok Pertambangan menjadi UU Minerba, yang
hanya mengguanakan izin sebagai satu-satunya pemberian hak untuk melakukan
kegiatan pertambangan, dengan demikian asas posteriori derograt legi priori
(undang-undang baru mengesampingkan undang-undang lama) menjawab rumusan
masalah. Hal ini berimplikasi bahwa segala ketentuan pengusahaan pertambangan
mineral radioaktif yang terdapat pada UU Ketenaganukliran yang bertentangan harus
disesuaikan dengan ketentuan pertambangan yang terdapat pada UU Minerba.