Abstract :
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi merupakan salah satu dari
cabang-cabang ekonomi yang menyangkut keberlangsungan kehidupan masyarakat
luas, sehingga pengelolaannya perlu diatur oleh Pemerintah. Dalam mengelola
migas, Pemerintah perlu untuk bermitra dengan Kontraktor disebabkan
karakteristik dari Kegiatan Usaha Hulu Migas yang berisiko tinggi serta
membutuhkan biaya yang sangat besar. Untuk itu, Indonesia memiliki suatu sistem
kesepakatan dalam bekerjasama dengan Kontraktor Migas, yaitu sistem Kontrak
Kerja Sama Bagi Hasil (Production Sharing Contract). Sebelum mengalami
pergantian skema, Kontrak Bagi Hasil yang dianut Indonesia menggunakan skema
Cost Recovery dimana terdapat mekanisme pengembalian biaya produksi yang
dikeluarkan Kontraktor oleh Pemerintah. Pengembalian komponen Cost Recovery
penting untuk Kontraktor karena selain merupakan hak yang memang harus
dipenuhi oleh Pemerintah, Cost Recovery membantu pemulihan keekonomian
Kontraktor yang biayanya telah digunakan sangat besar untuk keperluan produksi.
Sehingga, komponen Cost Recovery dapat dikatakan sebagai pemenuhan asas
keseimbangan dalam Kontrak Bagi Hasil Migas karena keberadannya menjamin
kedudukan para pihak yang ideal pada kontrak. Namun pada tahun 2017,
dikeluarkan Permen ESDM No. 8 Tahun 2017 yang kemudian diubah dalam
Permen ESDM No. 52 Tahun 2017 Tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, yang
mana menyatakan bahwa Kontrak Bagi Hasil tidak lagi akan menggunakan
mekanisme pengembalian biaya produksi.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan hukum
yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah bagaimana analisis kedudukan para
pihak dalam Kontrak Bagi Hasil Gross Split Pada Kegiatan Usaha Hulu Migas
dalam Permen ESDM No. 52 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Permen ESDM
No. 8 Tahun 2017 Tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah penelitian yang bersifat yuridis
normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan (Statute Approach).
Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang diteliti diperoleh melalui
penelusuran kepustakaan. Dalam menganalisis bahan-bahan hukum, penulis
menggunakan teknik interpretasi komparatif, interpretasi teleologis, dan analogi.
Kesimpulan yang penulis dapatkan dari penelitian ini ialah bahwa dengan
diberlakukannya Kontrak Bagi Hasil Gross Split, maka kedudukan para pihak
vii
dalam kontrak masih tetap ideal karena di dalam Permen ESDM No. 52 Tahun 2017
Tentang Perubahan Atas Permen ESDM No. 8 Tahun 2017 Tentang Kontrak Bagi
Hasil Gross Split terdapat pengaturan mengenai suatu formulasi pengganti
komponen mekanisme pengembalian biaya produksi atau Cost Recovery sebagai
pemenuhan asas keseimbangan yang baru. Adapun rekomendasi yang dapat
diberikan ialah agar pemerintah dapat mengatur Kontrak Bagi Hasil Gross Split ini
tidak hanya melalui Peraturan Menteri ESDM, namun melalui Peraturan
Pemerintah sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, mengingat
dasar hukum mekanisme Cost Recovery terdapat pada Peraturan Pemerintah.